Pentingnya Reformasi Tata Kelola Intelijen Indonesia
Reformasi intelijen Indonesia menjadi isu krusial dalam upaya memperkuat keamanan nasional dan menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Diskusi terbatas bertajuk Dinamika Reformasi Tata Kelola Intelijen Indonesia, yang diselenggarakan oleh Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie, mengungkap berbagai tantangan serta rekomendasi strategis dalam upaya pembenahan sistem intelijen di Indonesia.
Dalam diskusi ini, para akademisi, peneliti, dan praktisi menyoroti empat aspek utama yang harus menjadi fokus reformasi:
- Penguatan fungsi intelijen untuk deteksi dini ancaman.
- Perbaikan sistem rekrutmen dan penempatan personel.
- Transformasi kultur intelijen agar lebih profesional.
- Penguatan mekanisme pengawasan terhadap lembaga intelijen.
Tantangan dalam Reformasi Intelijen Indonesia
Menurut Yudha Kurniawan, dosen Ilmu Politik Universitas Bakrie, reformasi intelijen perlu dilakukan secara kelembagaan untuk memperkuat peran Badan Intelijen Negara (BIN). Meski reformasi ini telah menghasilkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011, masih banyak tantangan yang harus diatasi, terutama dalam aspek operasional dan pengawasan.
Rizal Darma Putra, Direktur Eksekutif LESPERSSI, menekankan bahwa keberhasilan intelijen terletak pada kemampuannya mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons ancaman dengan cepat dan akurat.
“Model pendekatan berbasis ancaman (threat-based intelligence) harus menjadi standar utama dalam operasional BIN agar dapat mencegah ancaman sebelum mencapai eskalasi,” ungkap Rizal.
Dalam konteks transisi kekuasaan dari Presiden Joko Widodo ke Prabowo Subianto, kemampuan intelijen dalam menganalisis ancaman menjadi semakin penting. Isu-isu ekonomi yang muncul belakangan ini juga bisa menjadi indikator bahwa reformasi intelijen masih perlu diperkuat.
Kritik terhadap Rekrutmen dan Kultur Intelijen
Salah satu aspek penting dalam reformasi intelijen Indonesia adalah sistem rekrutmen dan penempatan personel. Awani Yamora Masta, peneliti dari Center for International Relations Studies, menyoroti bahwa efektivitas intelijen sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia yang direkrut.
“Proses seleksi harus berbasis kompetensi, bukan kedekatan politik. BIN perlu memperketat standar rekrutmen dengan mengedepankan keahlian di bidang teknologi informasi, analisis data, diplomasi, dan kontraterorisme,” ujar Awani.
Di banyak negara maju, rekrutmen intelijen mempertimbangkan aspek akademik, psikologis, serta kecocokan individu dengan dinamika kerja intelijen. Namun, di Indonesia, politisasi rekrutmen masih menjadi tantangan yang harus diatasi agar BIN tetap profesional dan independen.
Selain itu, kultur intelijen yang lebih tertutup dan profesional perlu diperkuat. Salah satu kritik yang muncul adalah penggunaan seragam bagi agen intelijen dan perubahan nomenklatur lulusan Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang semakin mencolok.
“Di negara dengan sistem intelijen yang matang, agen intelijen bekerja dalam bayang-bayang, tanpa eksposur yang berlebihan di publik,” tambah Rodon, salah satu narasumber dalam diskusi ini.
Urgensi Pengawasan yang Lebih Ketat
Muhamad Haripin dari BRIN menyoroti bahwa BIN sebagai lembaga dengan kewenangan luas harus diawasi secara ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.
“Indonesia perlu menerapkan model oversight yang lebih efektif, misalnya melalui komite khusus di DPR atau mekanisme audit independen,” jelasnya.
Selain itu, ekspansi fungsi intelijen di berbagai institusi seperti kejaksaan dan badan maritim harus dikontrol agar tidak terjadi intervensi yang berlebihan. Tanpa regulasi yang jelas, ada potensi penyalahgunaan kewenangan yang bisa mengancam stabilitas politik dan sosial.
Rekomendasi untuk Reformasi Intelijen Indonesia
Berdasarkan diskusi ini, terdapat beberapa rekomendasi utama yang harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah:
- Meningkatkan kualitas dan efektivitas BIN dengan menerapkan pendekatan berbasis ancaman (threat-based intelligence).
- Memperbaiki sistem rekrutmen dengan mengedepankan kompetensi teknis dan keseimbangan struktural dalam organisasi.
- Menjaga profesionalisme intelijen dengan memastikan agen bekerja dalam kerahasiaan tanpa eksposur yang berlebihan.
- Menerapkan mekanisme pengawasan independen untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
- Menyusun regulasi yang lebih ketat terkait fungsi intelijen di berbagai institusi agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.
Sebagai bagian dari komitmen akademik dalam kajian strategis, Program Studi Ilmu Politik Universitas Bakrie berencana terus mengadakan diskusi serupa guna memperdalam wawasan dan merumuskan rekomendasi kebijakan yang lebih komprehensif.
Reformasi intelijen Indonesia merupakan kebutuhan mendesak untuk menghadapi tantangan keamanan nasional dan global. Dengan meningkatkan efektivitas operasional, memperbaiki sistem rekrutmen, memperkuat profesionalisme agen, dan menerapkan pengawasan yang lebih ketat, BIN dapat berfungsi lebih optimal dalam menjaga stabilitas negara.