Jakarta, CNBC Indonesia – Anak yang mengalami tantrum atau menangis tanpa henti adalah salah satu momok terbesar bagi orang tua. Sebab, bentuk ekspresi anak itu tak jarang membuat orang tua sulit untuk menahan emosi sehingga tanpa sengaja membentak.
Melansir dari CNBC Make It, psikolog klinis, Jazmine McCoy mengatakan bahwa terlalu sering membentak atau berteriak kepada anak bisa mengacaukan hubungan antara orang tua dan anak.
Menurut studi pada 2013 yang dipublikasikan The Journal of Child Development, anak-anak yang sering dimarahi orang tua berpotensi mengalami masalah perilaku, rendah diri, dan depresi.
“Jika ini adalah dinamika utama Anda dengan anak, itu akan mengganggu hubungan yang kemudian mengganggu perilaku mereka,” kata McCoy, dikutip Selasa (6/2/2024).
“Anak-anak yang merasa lebih terhubung dan didukung oleh orang tua akan melakukan hal yang lebih baik. Mereka akan lebih sukses, bahagia, dan sebagainya,” lanjutnya.
McCoy mengatakan, berteriak atau membentak sama sekali tidak efektif untuk memperbaiki perilaku negatif anak. Menurut penelitian, berteriak atau membentak justru memicu respons stres di otak.
Jika respons stres muncul, anak-anak berpotensi mengalami peningkatan kecemasan sehingga kemampuan untuk belajar dan berkembang mereka terhambat.
Sebaliknya, orang tua yang jarang membentak atau berteriak disebut sangat membantu anak untuk hidup lebih bahagia dan sukses sepanjang hidup.
Maka dari itu, McCoy mengimbau para orang tua untuk menjaga pikiran agar tetap tenang meskipun berada di situasi yang berat. Sebab, pikiran tenang dapat membantu orang tua untuk mengembangkan kecerdasan emosional dan kepercayaan diri anak.
Selain itu, McCoy juga menyarankan orang tua untuk melakukan refleksi diri yang mendalam untuk lebih memahami dan mengetahui akar emosi, seperti menulis jurnal.
Menurut McCoy, orang tua harus menyadari bahwa tantrum adalah hal norma yang terjadi pada anak kecil. Tidak hanya itu, anak-anak juga butuh untuk mendengarkan instruksi berkali-kali.
“Kita (orang tua) harus berusaha sebaik mungkin untuk berhenti sejenak dan memikirkan pernyataan positif yang bermanfaat, seperti ‘saya bisa menangani apapun yang menantang saya’,” papar McCoy.
McCoy mengatakan, mengasuh anak adalah hal yang sulit sehingga wajar jika orang tua merasa kewalahan sampai tidak sengaja membentak anak. Namun, hal itu bukan berarti orang tua bisa terus-terusan membentak anak tanpa meminta maaf setelahnya.
“Jika Anda tidak bisa menahan diri sebelum kehilangan kesabaran, apa yang terjadi selanjutnya sangat penting untuk menjaga hubungan yang kuat dan percaya dengan anak Anda,” kata McCoy.
“Meminta maaf (setelah membentak) sangat menyembuhkan bagi orang tua dan anak,” imbuhnya.
Namun, McCoy meminta orang tua untuk tidak sekadar minta maaf. Ia mengimbau orang tua untuk turut menjelaskan alasan meminta maaf dan menanyakan bagaimana perasaan anak saat dibentak.
McCoy mengatakan, hal ini memberi contoh yang baik kepada anak-anak terkait bagaimana cara berperilaku yang tepat setelah merasa marah.
Selain itu, meminta maaf dan menanyakan perasaan anak juga dapat “mengundang” anak untuk menceritakan perasaan dan mengembangkan kecerdasan emosional mereka.
“Anda membuka kesempatan bagi mereka untuk mengungkapkan emosinya,” ujar McCoy.
“Dan Anda menyambut mereka ke dalam hubungan untuk berbagi kejujuran dan membesarkan anak-anak yang cerdas secara emosional dan sukses,” tutupnya.