Kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih ada di Indonesia. Penyebabnya adalah kuman Mycobacterium leprae. Namun stigma terhadap penderita kusta masih belum usai. Banyak orang yang masih mengucilkan mereka hingga menutup jalan nafkah para penderitanya. Kisah menyedihkan ini dialami oleh Sidup (47), warga Cabangbungin, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Sidup didiagnosa menderita penyakit kusta sejak beberapa tahun belakangan ini. Dulu Sidup mencari nafkah dari berjualan mainan. Namun hanya 3 hari bertahan karena banyak orang mengetahui Sidup alami kusta. Padahal saat itu, modal usahanya dia dapat dari meminjam saudara, ternyata malah berakhir rugi. “Duit dikasih sama saudara Rp 300.000, sampai sekarang pun belum kebayar. Nggak ada kelakuan (laku) kalau dagang-dagang begitu, jadi orang tahu posisi saya. Orang bilang ke saudara-saudaranya jangan beli sama dia karena karena saya kan punya musibah seperti ini,” ungkap Sidup sedih. Alhasil, Sidup menempuh jalan nafkah yang lain sebagai pemulung sampah yang bisa dia tukar dengan rupiah. Sidup memilih pekerjaan ini karena dirinya tidak mempunyai keahlian dan latar pendidikan. Oleh karena itu, apapun dia tempuh agar keluarganya bisa makan walaupun kusta di telapak kaki Sidu begitu memilukan hati hingga membuat dirinya harus menyeret kakinya setiap berjalan.
“Berapapun rezekinya masih saya pertahanin ibaratnya saya cuma dapat sedikit masih saya pertahanin, saya harus berusaha untuk ngegedein anak mungkin masa depannya terang bagi saya,” tegasnya. Dari hasil memulung, Sidup bisa menjual plastik dan besi yang dihargai Rp 500 tiap 1 kg. Jumlah yang begitu kecil bahkan terkadang Sidup kesulitan membawa pulang uang untuk keluarganya. “Pernah sore nggak makan pulang dagang, saya beliin bubur ayam 2, sisanya beli gorengan sama air minum supaya bini dan anak saya laki supaya bisa kenyang. Anak saya perempuan dikasih bubur ayam yang Rp2.000 supaya pagi ada ganjalan lagi masih kenyang,” cerita Sidup lagi. Saat ini Sidup tinggal bersama istrinya, Munah dan tiga anaknya. Walaupun tinggal di tempat yang tidak begitu layak, Sidup berusaha tetap merawat kustanya. Dia rajin mengganti kapas dan mencuci kakinya dengan cairan desinfektan serta meminum obat dokter. Hal ini wajib dia lakukan apalagi kusta telah membuat sarafnya rusak hingga jari-jari kakinya tak sempurna dan berfungsi.
“Awal mulanya waktu di induk (pasar induk Cibitung) luka kena duri saya ketusuk keluar nanah, udah, nggak lama saya balik paginya. Terus saya balik nggak lama saya kawin. Saya sempat narik becak. Pas saya balik dari usaha becak, ya saya kambuh lagi, pecah lukanya, kayaknya merembet-rembet gitu. Saya obatin pakai Betadine kadang saya siram pakai air angat. Ini kan panas nih merah muka, ini pada item saya kasih cabe, saking nahan panas, saya tambal ga kuat nahan ini lalu diikat,” ungkap Sindup. Sementara itu, istri Sindup, Munah berusaha bekerja dengan mengais padi dari sisa panen atau ngasak. Hasil ngasak memang tidak seberapa namun bagi Munah dan keluarga, pekerjaan ini merupakan berkah yang luar biasa. “Sehari kalau ininya dapat 2 karung, tapi kalau udah jadi padinya jadinya hanya seperempat karung. Itu masih padinya teh, belum digiling, belum dijemur dulu, dikeringin paling dapat berasnya 5 liter, 5 liter cuma 2 hari masak,” kata Munah. Selain ngasak, Munah juga bekerja menjadi buruh cuci namun sayang hanya datang sesekali saja. Bukan hanya Munah, Azul, anak pertama Sidup juga turut membantu ekonomi keluarga dengan menjajakan mainan anak. Berkeliling, lelaki 19 tahun ini menjajakan barang dagangan yang juga belum banyak laku terjual namun tak pernah menyurutkan semangat Azul.
#sahabatbaik gotong royong keluarga ini menopang kehidupan menjadi cerminan bahwa keluarga adalah segalanya. Namun alangkah baiknya jika kita turut membantu meringankan langkah berat mereka dengan mulai Donasi sekarang juga.
Donasi di berbuatbaik.id, 100% tersalurkan. Jangan ragu berbuat baik mulai sekarang juga!
(miq/miq)