Praktik populer penyembuhan spiritual oleh dukun merupakan hal lazim yang dilakukan masyarakat Indonesia. Biasanya mereka ke dukun untuk berkonsultasi berbagai masalah, termasuk soal kesehatan. Sebelum pengetahuan kedokteran berkembang, masyarakat percaya dukun dapat menyembuhkan mereka, di mana dukun bakal mengucapkan berbagai mantra dan memberi pasien obat-obatan herbal. Praktik seperti ini rupanya berhasil menarik perhatian dokter asal Jerman, Friedrich August Carl. Pada tahun 1823, Carl ditugaskan Departemen Kesehatan Hindia Belanda untuk menjadi dokter di Semarang.
Saat bertugas pertama kali, ternyata dia heran kalau orang, baik itu warga lokal atau orang Eropa sekalipun, lebih mempercayai dukun untuk mengatasi masalah kesehatan. Dan, menariknya mereka justru banyak yang sehat kembali usai datang ke dukun. Tentu saja, Carl bertanya-tanya: kenapa bisa berhasil, padahal pengobatannya tak sesuai ilmu kedokteran yang dia pelajari. Sebagai informasi, di Hindia Belanda minim obat-obatan modern, tak seperti di Eropa. Pertanyaan seperti ini sebenarnya dipikirkan juga oleh banyak dokter Eropa lainnya. Bahkan, sudah sejak lama dokter Eropa merasa tersaingi oleh dukun.
Menurut Hans Pols dalam Merawat Bangsa (2018) ketersaingan ini muncul karena persoalan akses pengobatan. Biasanya dokter hanya ada di perkotaan, jauh dari tempat tinggal mayoritas warga yang berada di perdesaan. Selain itu, biaya dokter pun lebih mahal. Belum lagi, warga juga masih diselimuti ketakutan ihwal rangkaian pengobatan modern yang masih sangat asing. Dengan pertimbangan tersebut, praktis mayoritas orang lebih memilih berobat ke dukun. Namun, Carl yang didasari oleh rasa penasaran teramat besar, berhasil mengamati praktik dukun secara seksama.
Sebagaimana dipaparkan Hans Pols dalam ‘European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation’ (2008), Carl melihat dukun dalam praktiknya berupaya menebak penyakit berdasarkan gejala, lalu akan memberikan mantra dan obat herbal.
Bagi Carl, rangkaian pengobatan tersebut bertumpu pada obat herbal. Jadi, mantra-mantra hanya penyerta dan yang menjadi kunci adalah penggunaan obat herbal yang diperoleh dari tanaman lokal. Akan tetapi, obat-obatan herbal tersebut hanya didasarkan pada kebiasaan dan pengalaman, bukan berdasarkan wawasan dan pengetahuan, sehingga perlu divalidasi oleh riset ilmiah. Atas dasar inilah, Carl juga meneliti obat herbal yang dipakai oleh dukun atau masyarakat umum dengan output riset ilmiah.
Dokter Jerman tersebut lantas mencari informasi soal obat herbal. Dia banyak bertanya ke masyarakat biasa, pedagang, pasien-pasien, dan istrinya sendiri. Tak cuma itu, dia juga menjadikan diri sendiri dan pasien sebagai objek eksperimen hingga terbukti berhasil. Singkat cerita, perjalanan panjang membongkar praktik dukun dan penggunaan obat herbal tersebut membuahkan hasil positif. Dia membukukan semuanya ke dalam karya berjudul Pratische Waarnemingen Over Eenige Javaansche Geneesmiddelen (Pengamatan Praktis Beberapa Obat Jawa).
Masih mengutip Hans Pols, karya tersebut mencatat seluruh obat-obatan herbal yang ada dan disandingkan dengan obat-obatan modern. Selain itu, dia juga mengkategorisasikan obat-obatan berdasarkan penyakit sesuai ilmu medis modern. Keberhasilan Carl lantas membuat banyak dokter di Hindia Belanda menjadikan obat herbal sebagai salah satu pengobatan. Mereka jadi lebih mudah mencarikan solusi pengobatan penyakit modern dengan memakai obat herbal. Beranjak dari sini, nama Friedrich August Carl naik daun di akhir abad ke-19. Dia pun tercatat sebagai dokter pertama yang membuat dan mempraktikkan pedoman pengobatan herbal ala Indonesia.