Sejak kecil, kita selalu disajikan dengan cerita sejarah yang dihubungkan dengan dongeng. Cerita tersebut sering kali disajikan secara seragam dan seolah-olah memiliki pola yang sama. Selama perjalanan, kita sering kali mendengar cerita dari para juru kunci makam dan pengurus kompleks makam.
Perjalanan “menjahit” ini sebenarnya tidak dimulai dari Ampeldenta, tetapi bermula dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya. Tempat di mana kita mempersiapkan diri dan mencari bekal untuk perjalanan panjang tersebut. Kita tidak datang ke sana untuk berkuliah, tetapi untuk berkunjung kepada Bapak Wakil Dekan yang ceritanya akan dijabarkan lebih lanjut pada episode berikutnya.
Mitos merupakan cerita yang populer yang disampaikan dari mulut ke mulut dan dipercayai oleh masyarakat. Mitos juga menjadi selimut hangat dalam perjalanan panjang mengikuti jejak-jejak peninggalan para penyebar agama Islam di Jawa, khususnya di wilayah Jawa Timur. Mitos ini masih eksis hingga saat ini dan terdengar sangat meyakinkan saat pertama kali didengar.
Fakta berasal dari bahasa Latin “factus”. Fakta merupakan kebalikan dari mitos. Fakta bisa dibuktikan kebenarannya melalui data yang ada. Mitos dan fakta, seperti air dan minyak, selalu bersinggungan dan sulit untuk disatukan.
“Saat kita berbicara mengenai tokoh penting dalam masyarakat, seringkali kita menciptakan mitos-mitos dan simbol-simbol,” ungkap Dr. H. Muhammad Khodafi, M.Si, Wakil Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Salah satu contoh mitos adalah kisah Sunan Ampel yang berhasil membawa gapura dari Kerajaan Majapahit. Di kompleks makam Sunan Ampel, terdapat lima buah gapura berwarna putih dengan tinggi sekitar 3 meter. Cerita ini disampaikan oleh Pak Mustajab, abdi dalem makam, yang mengisahkan bahwa Sunan Ampel membawa gapura tersebut menggunakan sajadah yang dibeber, lalu diikat dan dibawa ke Ampeldenta.
Ada juga kisah kapal Sunan Bonang yang terus berputar saat berada di wilayah laut Kota Tuban menuju Madura. Para murid Sunan Bonang sepakat untuk memakamkan beliau di wilayah Madura, tetapi kapal terus berputar saat memasuki wilayah Tuban. Akhirnya, mereka mengubah rencana dan memakamkan sang guru di Bumi Wali.
Cerita-cerita turun temurun tersebut masih terus menjadi misteri. Tim Ekspedisi Warisan Islam dalam Selimut Budaya Baru melakukan petualangan untuk mencari puing-puing fakta yang masih tersisa dari kisah-kisah perjalanan heroik para penyebar agama Islam. Saat mengunjungi makam-makam, mereka sering kali mendengar kalimat “menurut cerita turun temurun” atau “katanya orang dulu-dulu” dari juru kunci atau pengurus yayasan makam. Tim ekspedisi terus menggali bukti empiris dari cerita-cerita tersebut.