Jakarta, CNBC Indonesia – Pajak menjadi sesuatu yang dikejar pemerintah kepada warganya untuk menambah penerimaan negara. Kini, pungutan pajak menyasar ke bangunan, hadiah, hingga pajak kendaraan bermotor. Namun, belum banyak orang tahu dulu pungutan pajak juga menyasar objek tak terduga. Mulai dari air kencing, janggut, hingga kuku.
Di masa Kekaisaran Romawi, misalnya. Pada masa itu, Kaisar Romawi Vespasianus (69-79 Masehi) menjadikan air kencing masyarakat jadi salah satu objek pajak yang dipungut oleh pemerintah. Hal ini bisa terjadi karena air kencing orang atau urine mengandung amonia.
Saat itu di Romawi Kuno, amonia jadi salah satu komoditas berharga. Zat tersebut bisa membersihkan kotoran dan minyak dari pakaian. Selain itu, amonia juga bisa digunakan sebagai pupuk dan untuk memutihkan gigi.
Masyarakat menyetor urine dengan mengumpulkannya di toilet umum. Lalu, urine tersebut diperjualbelikan. Jika ada yang membeli, maka orang tersebut akan dikenakan pajak pembelian urine. Meski demikian, pajak air kencing ini menuai kontroversi.
Selain air kencing, objek pajak tak terduga lainnya adalah janggut. Hal ini terjadi di Rusia pada era Peter Agung sekitar tahun 1698. Saat itu, pria Rusia yang mau menumbuhkan janggut harus membayar pajak. Semakin tinggi status, semakin banyak pajak yang harus dibayar. Kebijakan pajak janggut ini berlangsung lama. Tepat 74 tahun kemudian, pajak janggut akhirnya dicabut.
Jika berpikir itu hanya terjadi di luar negeri, maka Anda salah. Faktanya, di Indonesia pernah ada kebijakan objek pajak yang cukup nyeleneh, yakni pajak kuku dan kepala. Kebijakan ini menyasar penduduk Tionghoa di Batavia pada tahun 1600-an.
Sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (1996) menjelaskan, orang Tionghoa dipungut pajak kepala. Laki-laki Tionghoa dengan usia 16-60 tahun diharuskan membayar pajak sebesar 1,5 real per kepala. Jika tidak dilakukan, maka yang bersangkutan akan berurusan dengan hukum.
Selain pajak kepala, orang Tionghoa juga dikenakan pajak kuku. Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi (2002) menyebut pajak kuku biasanya menjerat orang-orang kaya. Sebab, orang-orang kaya punya kebiasaan membiarkan kuku panjang. Atas dasar ini, kuku panjang dijadikan alasan untuk memungut pajak.
Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik (2008) menceritakan banyak masyarakat Tionghoa yang keberatan dan enggan membayar pajak. Mereka yang membangkang lantas dipenjara selama 8 hari dan didenda 25 gulden. Karena ancaman hukuman tersebut, masyarakat Tionghoa lantas dipaksa membayar pajak.
Biasanya untuk mengingatkan warga, perwakilan pemerintah memasang bendera di beberapa tempat. Jika bendera terpasang, maka masyarakat Tionghoa bergegas membayar pajak. Namun, tidak semua masyarakat Tionghoa dikenakan pajak-pajak tersebut. Warga peranakan Tionghoa dan Tionghoa Muslim dibebaskan dari pajak. Kebijakan pajak kepala dan pajak kuku terus berlanjut hingga tahun 1900. Setelahnya, kedua pajak tersebut diubah menjadi pajak penghasilan.
[Gambas:Video CNBC]
(Artikel Selanjutnya: Sandiaga Tak Setuju Bisnis Spa Bali Kena Pajak 40 Persen)
(mfa/mfa)