Jakarta, CNBC Indonesia – Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) memunculkan kembali pembicaraan mengenai penerapan student loan di Indonesia.
Student loan adalah dana pinjaman pendidikan yang diberikan lembaga keuangan atau pemerintah kepada seseorang untuk membiayai pendidikan. Sistem seperti ini sudah banyak diterapkan beberapa negara di dunia, salah satunya Amerika Serikat.
Setiap tahunnya, Negeri Paman Sam memberikan pinjaman dana kepada ribuan mahasiswa untuk membayar iuran kuliah. Akan tetapi, student loan menimbulkan polemik karena membuat seseorang terlilit hutang besar yang tak selesai dalam waktu singkat.
Wacana student loan di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Sistem serupa pernah dilakukan di Indonesia dengan nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) pada 1982.
Kala itu, pemerintah memberlakukan KMI dengan tujuan membantu mahasiswa semester akhir agar bisa lulus kuliah dengan cepat. Pasalnya, banyak mahasiswa semester akhir yang ogah-ogahan mengerjakan tugas akhir sebagai syarat kelulusan dan lebih memilih bekerja. Mereka memanfaatkan kebijakan biaya kuliah minimum PTN yang diterapkan kepadanya.
Sebagai catatan, biaya kuliah di tahun 1980-an cukup mahal di zamannya. Sebagai perbandingan, harga bensin kala itu hanya Rp150 per liter. Sementara, biaya kuliah mahasiswa S1 mencapai Rp375-562 ribu. Dari nominal tersebut, ada subsidi pemerintah yang tentu bakal makin besar apabila waktu kuliah mahasiswa molor.
Pemerintah melihat hal ini memberatkan mereka, sehingga berniat hadir membantu para mahasiswa supaya cepat lulus lewat mekanisme KMI. Dananya diambil dari keuntungan penjualan minyak sebab ketika itu Indonesia mendapat keuntungan melimpah dari produksi migas.
Maka, pada 8 Mei 1982 KMI resmi berlaku berdasarkan Surat Keputusan Nomor 15/12/Kep/Dir/UKK tentang Pemberian Kredit Bank kepada Mahasiswa oleh Bank Indonesia. Dalam laporan Maureen Woodhal bertajuk “Student Loans in Higher Education” (1992) diketahui, mekanisme pencairan dana pinjaman dilakukan oleh Bank Negara Indonesia (BNI).
Dana pinjaman yang diperoleh mahasiswa cukup beragam dengan bunga 6% per tahun. Mahasiswa S1 mendapat Rp750 ribu. Mahasiswa S2 memperoleh Rp1,5 juta. Sedangkan mahasiswa S3 mendapat Rp2,5 juta. Uang pinjaman tersebut tentu bisa menutupi biaya kuliah per tahun dan biaya hidup bulanan.
Sebagai gantinya, pemerintah menahan ijazah mahasiswa di bank sebagai jaminan. Lalu, pemerintah juga meminta para mahasiswa menyicil pinjaman tersebut maksimal selama 10 tahun. Kebijakan ini disambut baik. Banyak mahasiswa yang mendapat dana KMI. Pada 1985, KMI pun diperluas tak hanya untuk mahasiswa semester akhir, tapi juga untuk mahasiswa yang sudah mencapai 90-110 SKS per semester.
Untuk memperolehnya terbilang cukup mudah. Mahasiswa hanya perlu meminta persetujuan orang tua/wali, mendapat surat keterangan finansial, dan mendapat rekomendasi dari pejabat kampus. Saat membayar, pemerintah juga tak membuat susah. Para kreditur hanya perlu menyisihkan 20% gaji bulanan hasil bekerja.
Meski hadir dengan berbagai kemudahan, pemerintah terhitung mengalami kerugian pasca penerapan KMI. Maureen Woodhal menyebut, pada akhirnya banyak mahasiswa yang tak membayar cicilan KMI. Hal ini bisa terjadi karena mereka tak butuh ijazah sebab untuk melamar kerja tak perlu ijazah asli, tapi hanya fotocopy-nya saja. Alhasil, mereka lebih memilih ijazah tersebut ditahan bank ketimbang membayar cicilan.
Selain itu, terjadi perubahan pasar kerja bagi pendidikan tinggi. Banyaknya mahasiswa yang lulus berkat KMI tak sebanding dengan pasar kerja yang ada, sehingga membuat mereka menjadi pengangguran.
Pemerintah akhirnya mencabut KMI pada 1990. Selain akibat permasalahan itu, KMI dihentikan karena Bank Indonesia menerbitkan aturan deregulasi kebijakan kredit.
[Gambas:Video CNBC]
(mfa/mfa)