Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memperkirakan, target Presiden Joko Widodo untuk menurunkan angka balita pendek atau kerdil yang juga kerap disebut stunting akan sulit tercapai di level 14%.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, ini karena penurunan angka prevalensi stunting dari 2023 ke 2022 saja turunnya sedikit sekali yakni dari 21,6% menjadi 21,5%. Padahal, anggaran yang digelontorkan untuk program Percepatan Pencegahan Stunting pada 2022 sudah mencapai Rp 44,8 triliun.
Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di 17 Kementerian dan Lembaga (K/L) sebesar Rp 34,1 triliun dan Pemerintah Daerah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik sebesar Rp 8,9 triliun serta DAK Nonfisik sebesar Rp 1,8 triliun.
“Stunting yang kita harapkan pada tahun 2024 yang dicanangkan Bapak Presiden sekitar 14% belum juga kita capai. Bahkan dari 2023 ke 2024 sedikit sekali penurunannya. Padahal anggarannya sudah cukup besar yang digelontorkan,” ucap Suharso saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Rabu (5/6/2024).
Suharso mengatakan, masalah utama sulit turunnya persentase balita stunting itu karena pendekatan kebijakan anggarannya yang multitaging. Akibatnya, porsi anggarannya terlihat besar namun programnya karena tersebar di banyak tempat dampaknya sangat minim.
“Ya memang kenyataannya kita belum bisa mencapai karena pendekatannya sering saya sampaikan biasanya kita melakukan program-program seperti itu dengan program multitaging di beberapa K/L akibatnya seakan-akan anggarannya besar tetapi efektifitasnya tidak sebagaimana anggaran yang tersedia itu, nah kita ingin dirasionalkan,” ucapnya.
Di sisi lain, pelaksanaan program penurunan angka stunting itu menurutnya banyak dilakukan di pemerintah daerah. Oleh sebab itu, ia menilai ke depan mekanismenya harus diubah dengan langsung mengintervensi anggarannya untuk menangani jumlah penduduk stunting terbesar dalam satu daerah.
“Kita beri intervensi saja ke daerah-daerah yang stuntingnya tinggi, jadi sebenarnya kita intervensi di daerah stunting tinggi signifikan turunnya, tapi ketika dibuat secara nasional penurunannya enggak terlalu signifikan, tapi kalau dilihat secara jumlah maupun cara ngitungnya kan ada juga yang baru masuk lagi menjadi anak stunting,” tutur Suharso.
Sebagai informasi, dalam kebijakan intervensi stunting terbagi ke dalam dua aspek, yakni intervensi spesifik serta intervensi sensitif. Intervensi spesifik di antaranya optimalisasi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berbahan pangan lokal, konsumsi Tablet Tambah Darah (TTD), serta edukasi tentang pentingnya imunisasi dan ASI Eksklusif yang belum adekuat.
Sementara, untuk intervensi sensitif yang cakupan layanan air minum layak dan akses sanitasi layak yang belum memadai hampir di semua daerah.
[Gambas:Video CNBC]
(arm/mij)