More

    Wah! Pakai AI di Kantor, Pekerja Takut Dinilai Malas


    Jakarta, CNBC Indonesia – Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) saat ini sudah tidak awam lagi digunakan untuk kehidupan sehari-hari, salah satunya untuk keperluan pekerjaan.

    Tidak bisa dipungkiri, bekerja dengan AI bisa membantu menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Namun, penggunaan AI nampaknya masih menjadi salah satu alasan kekhawatiran karyawan akan menerima kecaman jika rekan kerja mereka mengetahuinya.

    Melansir CNBC International, Perusahaan AI Anthropic dan platform manajemen kerja Asana merilis laporan State of AI at Work 2024 terbaru mereka yang mensurvei 5.007 pekerja pengetahuan di AS dan Inggris tentang pandangan mereka tentang adopsi AI di tempat kerja.

    Pekerja pengetahuan secara kasar dapat digambarkan sebagai pekerja kerah putih ahli yang menggunakan keterampilan analitis.

    Ditemukan bahwa lebih dari seperempat pekerja yang disurvei khawatir akan dianggap sebagai “malas” jika mereka menggunakan AI di tempat kerja. 23% lainnya mengatakan mereka takut dicap sebagai “penipu” karena menggunakan AI di tempat kerja.

    Dan sepertiga mengatakan mereka khawatir AI akan menggantikan manusia sepenuhnya.

    kepala Work Innovation Lab Asana, Rebecca Hinds mengatakan hal itu sebagian karena perusahaan tidak memberikan panduan yang jelas seputar penggunaan AI di tempat kerja.

    “Di situlah kita mulai melihat ketakutan akan persepsi kemalasan, ketakutan akan persepsi merasa seperti penipu yang paling signifikan, karena konteks organisasi tidak kondusif untuk memfasilitasi lingkungan tempat orang merasa berdaya untuk menggunakan AI,” kata Hinds, dilansir CNBC International, dikutip Minggu (9/6/2024).

    Secara keseluruhan, survei tersebut mengungkapkan adopsi AI di tempat kerja terus meningkat, baik di AS maupun Inggris.

    Di AS, 57% pekerja menggunakan alat AI generatif setiap minggu, melonjak dari 46% hanya sembilan bulan lalu. Di Inggris, 48% pekerja menggunakan alat AI generatif setiap minggu dibandingkan dengan 29% sembilan bulan lalu.

    Sekitar 60% pekerja di seluruh AS dan Inggris berharap untuk menggunakan AI generatif lebih banyak lagi dalam enam bulan mendatang.

    Tingkat adopsi yang tinggi sebagian besar disebabkan oleh pekerja yang melihat peningkatan produktivitas dengan 69% melaporkan peningkatan produktivitas yang lebih tinggi sebagai hasilnya.

    Aadapun, sebanyak 82% pekerja mengatakan organisasi mereka belum memberikan pelatihan apa pun kepada karyawan tentang penggunaan AI generatif. Kurangnya komunikasi tersebut dapat mendorong kekhawatiran pekerja tentang apakah mereka dapat menerima penggunaan AI di tempat kerja.

    Selain memasukkan kebijakan seputar AI, perusahaan juga perlu menjelaskan bagaimana AI akan mengubah peran pekerja.

    “Perusahaan juga tidak cukup memperhatikan pentingnya prinsip, jadi bukan hanya apa yang boleh Anda lakukan dengan teknologi tersebut tetapi juga, apa yang pada dasarnya ingin dilakukan oleh teknologi tersebut, dan apa nilai teknologi tersebut untuk pekerjaan spesifik kita?” kata Hinds.

    “Bagaimana kita membayangkan peran baru kita sebagai manusia di samping teknologi transformatif baru ini? Itu memberi karyawan kepercayaan diri”.

    Sementara itu, ada juga kesenjangan antara eksekutif dan pekerja individu tentang persepsi penggunaan AI.

    Hampir seperempat eksekutif mengatakan perusahaan mereka memiliki anggaran khusus untuk berinvestasi dalam perangkat AI generatif bagi karyawan, menurut survei tersebut, tetapi hanya 9% pekerja yang mengatakan hal yang sama.

    Hinds menjelaskan bahwa ketakutan itu paling banyak muncul di perusahaan-perusahaan pada tahap awal penerapan AI.

    “Perusahaan tahap empat dan tahap lima yang telah mulai menerapkan pedoman telah mulai memposisikan AI sebagai rekan satu tim, bukan alat. Saat itulah kita melihat bahwa ancaman yang dirasakan benar-benar berkurang di organisasi mana pun,” tandasnya.

    [Gambas:Video CNBC]

    (haa/haa)


    Source link