More

    Perempuan Lebih Berisiko Meninggal karena Patah Hati, Ini Risetnya


    Jakarta, CNBC IndonesiaSebuah studi menemukan bahwa perempuan lebih berisiko mengalami penyakit jantung, termasuk serangan jantung, akibat patah hati. Penyakit ini bahkan disebut sebagai “sindrom patah hati”.

    Melansir dari PsychCentral, sebuah studi terbaru yang diterbitkan pada Oktober 2021 menemukan bahwa 88,3 persen dari 135.463 kasus “sindrom patah hati” dialami oleh perempuan, terutama berusia paruh baya dan lebih tua.

    Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa perempuan yang lebih tua berpotensi 10 kali lipat lebih besar untuk terdiagnosis “sindrom patah hati” dibandingkan perempuan atau laki-laki yang lebih muda pada usia berapa pun.

    Hingga saat ini, belum diketahui secara pasti alasan perempuan lebih berisiko terkena “sindrom patah hati”. Namun, ahli jantung di Orange County California, Jennifer Wong menyebutkan bahwa sindrom tersebut rentan muncul pada perempuan karena tekanan emosional. Terlebih, stres dapat mempengaruhi perempuan lebih berbeda daripada laki-laki.

    “Secara umum, penyakit kardiovaskular umumnya lebih banyak menjangkit laki-laki daripada perempuan. Namun, sudah ada teori yang menyatakan bahwa seringkali ada mekanisme lain yang lebih umum terjadi pada wanita, seperti kardiomiopati yang disebabkan oleh stres,” kata Wong, dikutip Selasa (11/6/2024).

    Selain itu, stres eksternal juga diduga sebagai penyebab meningkatnya risiko “sindrom patah hati” bagi kalangan perempuan secara umum. Tak hanya itu, kombinasi beberapa faktor, seperti jantung yang semakin melemah seiring bertambahnya umur dan lonjakan hormon stres juga bisa menjadi faktor pendukung.

    “Besaran penyebab stres lingkungan kemungkinan besar berperan (dalam kasus “sindrom patah harti”) mengingat laporan dari pusat-pusat lain yang menemukan peningkatan tingkat kasus selama pandemi,” kata peneliti utama sekaligus direktur Institute for Research on Healthy Aging di Department of Cardiology Smidt Heart Institute at Cedars-Sinai, Susan Cheng.

    Sebenarnya, apa itu “sindrom patah hati”?

    “Sindrom patah hati” atau Kardiomiopati Takotsubo adalah kondisi jantung yang disebabkan oleh peristiwa pemicu stres. Meskipun kondisi ini semakin diakui di dunia medis dan ilmiah, dampaknya terhadap gender dan usia masih memerlukan penelitian lebih lanjut.

    Sindrom yang relatif jarang terjadi ini dilaporkan menyerupai serangan jantung akibat peristiwa yang membuat stres. Umumnya, gejala “sindrom patah hati” meliputi nyeri dada dan sesak napas.

    Kondisi ini umumnya ditemukan ketika seseorang mengalami gejala yang berhubungan dengan serangan jantung, tetapi tidak mengalami penyumbatan arteri. Meskipun dapat terjadi bagi beberapa individu, kematian akibat sindrom patah hati diklaim jarang terjadi.

    Meskipun prevalensi keseluruhan tidak sepenuhnya diketahui, penelitian terdahulu menunjukkan bahwa satu hingga dua persen dari semua kasus melibatkan nyeri dada dan gejala sindrom koroner akut lainnya.

    “Kami melihat peningkatan angka kejadian di luar proporsi yang diharapkan dari pengakuan saja, terutama pada perempuan dibandingkan laki-laki. Jadi kita harus menghubungkan hal ini dengan meningkatnya kejadian,” kata Cheng.

    “Sindrom patah hati” diterima secara luas pada 2005, yakni ketika tim peneliti ahli jantung di Johns Hopkins menerbitkan laporan penting tentang kasus-kasus yang terdokumentasi di New England Journal of Medicine.

    “Laporan penting itu menunjukkan bahwa kondisi ini tidak jarang terjadi, sering kali terjadi tepat di depan kita ketika kita berasumsi ada hal lain yang sedang terjadi,” kata Cheng.

    Peneliti Johns Hopkins mengkarakterisasi sindrom patah hati sebagai jantung yang melemah secara tiba-tiba disertai dengan lonjakan hormon stres yang terukur.

    “Ini adalah bukti yang sangat dibutuhkan mengenai hubungan biologis utama antara stres otak dan patah hati,” jelas Cheng.

    Selain menjaga pola hidup dan manajemen stres, Cheng mengatakan bahwa memiliki hubungan yang sehat dapat membantu seseorang terhindar dari risiko “sindrom patah hati”. Sebab, hubungan yang sehat dapat menghasilkan kebahagiaan yang besar dan mengurangi stres.

    Studi Harvard tentang perkembangan orang dewasa menunjukkan bahwa hubungan adalah kunci kesehatan dan umur panjang. Sindrom patah hati menunjukkan bagaimana stres otak berhubungan dengan stres jantung.

    “Meskipun kami belum memiliki bukti pasti dari studi atau uji klinis terkait kesehatan otak berhubungan dengan kesehatan jantung dalam jangka panjang, dapat diasumsikan bahwa hal ini mungkin terjadi,” kata Cheng.

    [Gambas:Video CNBC]

    Artikel Selanjutnya

    Kesetaraan Gender Masih Angan-Angan, Bank Dunia Kasih Buktinya

    (rns/rns)


    Source link