Karena itu, dia meminta Persepi harus menjelaskan secara terbuka kepada publik. Bahwa sebagai asosiasi mereka terbebas dari kepentingan lembaga survei manapun.
“Harus jelaskan secara terbuka. Dan yang paling penting menurut saya bukan Poltracking punya dua data, bukan itu, tapi juga menjelaskan bagaimana tingkat independensi keanggotaan dewan etik dan mereka tak punya kepentingan. Mereka harus menyatakan mereka tak punya kepentingan dengan lembaga survei manapun, itu yang penting,” tutur Karim.
Selain itu, Kalau bertindak adil, dewan etik Persepi harusnya tidak hanya menyidangkan beda hasil survei di Pilkada Jakarta saja, tapi juga di daerah-daerah lain yang juga mengalami hal yang sama.
“Mengapa misalnya Jakarta yang dicermati, yang Jawa Tengah tidak. Ada urusan apa? Kan sama-sama melibatkan kepentingan publik. Jangan ada tebang pilih, kemudian independensi keanggotaan dewan etik itu mutlak harus dimiliki,” pungkasnya.
*PPI dan Voxpol Center Susul Poltracking*
Sebelumnya, usai Poltracking Indonesia, Lembaga Parameter Politik Indonesia (PPI) juga menyatakan keluar dari Persepi.
Berdasarkan surat pernyataan pengunduran diri PPI yang beredar di kalangan jurnalis, PPI menyatakan mundur dari Persepi secara suka sukarela. Tidak dijelaskan lebih gamblang apakah mundurnya PPI juga terkait kisruh putusan Persepi yang memberi sanksi Poltracking terkait survei beda hasil dengan LSI.
“Kami sampaikan bahwa Parameter Politik Indonesia, menyatakan diri mundur dan keluar secara sukarela dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi),” demikian pernyataan melalui surat yang ditandatangani Direktur Parameter Politik Indonesia, Sadam Husen Falahuddin, Rabu (6/11/2024).
Adapun alasannya adalah restrukturisasi Kepengurusan Parameter Politik Indonesia, dan evaluasi dan konsolidasi internal arah kebijakan Parameter Politik Indonesia ke depan. Saat dikonfirmasi, peneliti senior PPI Adi Prayitno membenarkan hal tersebut.
“Iya mundur karena alasan internal PPI,” jelas dia saat dikonfirmasi.