Setiap berbuka puasa, kolak menjadi makanan yang tak terlupakan. Makanan yang biasanya terbuat dari irisan pisang, singkong, ubi yang dicampur dengan gula aren, santan, dan berbagai bahan lain ini telah populer sejak lama. Bahkan, jejak pertama makanan ini, atau makanan sejenisnya, telah tercatat sejak zaman Kerajaan Hindu Budha pada 902 Masehi, seperti yang terdokumentasikan dalam Prasasti Watukura.
Asal usul kata “kolak” sendiri berasal dari bahasa Arab, yang dapat diartikan sebagai “makanlah” atau “menciptakan”. Secara lebih luas, kolak merepresentasikan akulturasi budaya lokal dengan budaya Timur Tengah. Budaya Timur Tengah yang menggemari makanan manis bersatu dengan bahan-bahan lokal seperti santan, ubi, kolang-kaling, dan lainnya, telah tersebar luas di seluruh Indonesia.
Filosofi-filosofi yang terkandung dalam kolak pun tidak luput dari perhatian. Misalnya, penggunaan pisang kepok yang merujuk pada makna “kapok”, seiring dengan penggunaan santan sebagai bentuk syukur atas karunia Tuhan, karena kelapa dianggap sebagai pohon sumber kehidupan oleh masyarakat Jawa dan Nusantara pada umumnya.
Dengan begitu, kolak bukan sekadar makanan semata, melainkan juga membawa filosofi yang kompleks yang dapat membimbing manusia dalam perilaku dan sikap hidup mereka. Senantiasa dihidangkan saat bulan Ramadan tiba, kolak menjadi lebih dari sekadar hidangan, melainkan simbol kebersamaan dan kebermaknaan yang lestari sepanjang generasi.