Penggunaan headset, earphone, dan headphone dalam waktu lama serta dengan volume tinggi dapat meningkatkan risiko gangguan pendengaran pada remaja. Hal ini disampaikan oleh dr. Andrey Dwi Anandya, Sp.THT-BKL dari Universitas Sriwijaya dalam webinar daring peringatan Hari Pendengaran Sedunia 2025 yang diadakan oleh Kementerian Kesehatan RI, beberapa waktu lalu.
Menurut dr. Andrey, Noise-Induced Hearing Loss (NIHL) atau gangguan pendengaran akibat paparan suara bising semakin banyak terjadi pada remaja. Remaja saat ini, kata ia, sangat dekat dengan perangkat audio seperti earphone, headset, dan speaker untuk mendengarkan musik, menonton video, hingga bermain gim. Paparan suara yang terlalu keras dan dalam jangka waktu panjang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada telinga.
Gangguan pendengaran akibat suara bising sering kali terjadi secara perlahan dan sulit disadari. Beberapa tanda awal yang perlu diwaspadai antara lain: kesulitan mendengar suara pelan atau konsonan tertentu seperti ‘S’, ‘F’, dan ‘Th’, sulit berkomunikasi di tempat ramai, mendengar suara berdenging atau tinnitus, dan menurunnya kemampuan akademik akibat kesulitan memahami percakapan dan instruksi dalam kelas.
Dampak sosial dan emosional dari gangguan pendengaran juga tidak bisa diabaikan. Remaja dengan gangguan pendengaran cenderung mengalami isolasi sosial, kesulitan bekerja dalam tim, hingga berisiko mengalami perundungan (bullying) karena dianggap kurang responsif.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahwa 1 dari 2 anak muda berisiko mengalami gangguan pendengaran akibat kebiasaan mendengar dengan volume berlebihan. Oleh karena itu, dr. Andrey memberikan beberapa tips untuk menjaga kesehatan telinga, di antaranya: jaga volume tetap rendah, gunakan earplug di lingkungan bising, batasi durasi penggunaan headset, dan pantau kebiasaan mendengar.
Deteksi dini sangat penting. Remaja dan orang tua disarankan untuk melakukan pemeriksaan pendengaran secara berkala guna mengantisipasi gangguan sejak dini.
Menurut data Kemenkes RI, Indonesia berada di peringkat keempat di Asia Tenggara dalam jumlah kasus gangguan pendengaran. Studi menunjukkan bahwa 16,8% populasi remaja dan dewasa mengalami masalah pendengaran, dengan angka yang terus meningkat setiap tahunnya. WHO memperkirakan bahwa 50% dari kasus gangguan pendengaran sebenarnya bisa dicegah jika masyarakat lebih sadar akan pentingnya menjaga kesehatan telinga. Kemenkes mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap risiko gangguan pendengaran dengan mengusung tema “Cegah Gangguan Pendengaran, Ayo Peduli”. Gangguan pendengaran bukan hanya masalah orang tua, tetapi juga generasi muda. Kita harus lebih bijak dalam menggunakan headset dan menjaga kesehatan telinga agar kualitas hidup tetap optimal.