Kasus stunting masih menjadi perhatian yang serius bagi para orang tua. Stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kurangnya asupan nutrisi. Dampak stunting tidak hanya terjadi pada pertumbuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi perkembangan otak, kemampuan belajar, dan kesehatan di masa depan anak. Kabar baiknya, angka stunting di Indonesia telah turun menjadi 19,8% pada tahun 2024.
Menurut Kepala Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Asnawi Abdullah, penurunan ini merupakan langkah penting menuju target jangka panjang untuk mengurangi stunting hingga 5% pada tahun 2045. Capaian ini bahkan melampaui proyeksi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang sebelumnya memperkirakan angka stunting pada tahun 2024 sekitar 20,1%.
Hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2024 menunjukkan bahwa prevalensi stunting bervariasi berdasarkan usia. Prevalensi stunting termasuk yang paling rendah di bawah satu tahun sekitar 11%, meningkat menjadi 19,9% pada usia dua tahun, dan mencapai puncaknya pada usia dua setengah tahun yaitu 24,2%.
Tidak hanya berdasarkan usia, perbandingan prevalensi stunting juga ditinjau dari status sosial ekonomi. Ditemukan kesenjangan signifikan antara kelompok masyarakat miskin dan kaya. Anak-anak yang lahir dari keluarga miskin memiliki risiko stunting 2,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang lahir dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang baik.
Lebih dari 50% kasus stunting di Indonesia terkonsentrasi di beberapa provinsi, antara lain Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Banten. Sebaliknya, prevalensi stunting terendah terjadi di Bali yaitu 8,7%. Itulah gambaran tentang stunting di Indonesia yang menggambarkan pentingnya peran nutrisi dalam pertumbuhan anak.