Tagar #SaveRajaAmpat sedang ramai dibicarakan di media sosial akhir-akhir ini. Hal ini menunjukkan kekhawatiran masyarakat terhadap kerusakan lingkungan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman hayati laut. Proyek pertambangan nikel di beberapa pulau di Raja Ampat, seperti Gag, Kawe, dan Manuran, menjadi sorotan utama. Meskipun beberapa izin telah dicabut oleh pemerintah, namun laporan dari Auriga Nusantara dan media internasional menunjukkan bahwa ekspansi tambang masih terus berlanjut. Dampak lingkungan yang dihasilkan dari aktivitas tambang tersebut meliputi hilangnya hutan, peningkatan lumpur di laut, dan kerusakan terumbu karang. Hal ini tidak hanya mengancam keberlangsungan spesies langka di laut, tetapi juga dapat merusak potensi pariwisata yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat setempat.
Penggunaan tagar #SaveRajaAmpat di media sosial meningkat dengan tajam, terutama sejak akhir Mei 2025. Masyarakat daring turut menyuarakan penolakan terhadap eksploitasi alam di Raja Ampat. Netizen yang mengunggah perasaannya di berbagai platform media sosial menunjukkan keprihatinan yang mendalam terhadap lingkungan dan keberlanjutan ekosistem di sana. Selain itu, gerakan dari Greenpeace Indonesia dan organisasi masyarakat sipil lainnya mengadakan aksi damai di Jakarta untuk menuntut penghentian seluruh kegiatan tambang nikel di Raja Ampat.
Meskipun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berjanji akan meninjau kembali izin-izin tambang di kawasan konservasi, namun masih diperlukan tindakan yang lebih tegas untuk melindungi Raja Ampat secara menyeluruh. Keterlibatan aktif masyarakat, terutama generasi muda, dianggap sangat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan di Raja Ampat agar menjadi warisan yang berharga bagi generasi yang akan datang. Menjaga alam bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama untuk memastikan keseimbangan ekosistem dan identitas ekologis bangsa terjaga dengan baik.

