Demikian kata Rum Ningsih, binaragawati asal Kalimantan Timur yang mengikuti eksibisi cabang olahraga binaraga pada penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumatera Utara.
Rum mencoba melawan batas-batas kultus kecantikan. Tren kecantikan modern mematok pada tubuh tinggi langsung, memiliki bokong dan dada yang padat berisi, berkulit putih, berhidung mancung, pipi tirus, dan sebagainya.
Kontruksi tersebut telah terbangun dalam sistem sosial masyarakat. Diakui atau tidak, tubuh yang ditampilkan oleh perempuan merupakan keinginan yang dilihat oleh kaum laki-laki.
Tak luput dalam ingatan saat Disney menunjuk Halle Bailey untuk memerankan karakter Ariel dalam film remake live-action “The Little Mermaid”. Disney mendapat nyinyiran dari warganet karena Halle dianggap tidak mewakili cerita awal dari film animasi tersebut.
Halle yang berkulit hitam dianggap tidak merepresentasikan tokoh Ariel yang mereka kenal berkulit putih dengan rambut merah. Namun, Disney mulai memprioritaskan untuk mengambil aktor dari berbagai identitas serta menghapus paradigma yang tak lagi mewakili prinsip perusahaan.
Wacana kecantikan akan terus menerus diusahakan untuk didefinisikan ulang tentang apa itu yang disebut keidealan. Standar kecantikan digembar-gemborkan lewat media baik media daring atau media luring dan dikemas dalam iklan-iklan produk kecantikan.
Pendiri Rumah Filsafat Reza A. A. Wattimena mencoba menerjemahkan pemikiran Filsuf Prancis Jacques Derrida perihal Dekontruksi.
Dalam artikel Reza, Derrida mengatakan kebenaran selalu terkait dengan proses dekonstruksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak dan tetap, melainkan bergerak sejalan dengan perubahan itu sendiri.
Dekonstruksi yang ditawarkan Derrida hendak mengkritik tradisi logosentrisme yang menekankan kepastian keberadaan dari simbol dan bahasa yang digunakan dalam kerangka berpikir.
Derrida berpendapat bahwa logosentrisme itu salah kaprah. Simbol dan bahasa adalah suatu sistem mandiri yang terbangun dalam pikiran komunikasi.
Dekonstruksi adalah metode yang digunakan Derrida untuk menekankan bahwa bahasa dan simbol tidak pernah bisa mewakili kenyataan yang ada. Keduanya bersifat ambigu dan tidak pasti.
Begitu pula dengan standar kecantikan yang mesti didekontruksi ulang sebagai pemahaman yang ambigu dan tidak pasti sebagai definisi tetap. Cantik adalah simbol semata dan mitos kecantikan merupakan penentu perilaku bukan penampilan.
Baca juga: Kaltim juara umum binaraga, Jakarta cetak sejarah
Baca juga: Empat atlet binaraga Indonesia dinyatakan melanggar aturan anti-doping
Halaman berikut: PON dan Binaragawati
Copyright © ANTARA 2024