Surabaya (beritajatim.com) – Belakangan ini, media sosial di seluruh dunia dihebohkan oleh konsep menarik yang dikenal sebagai Red String Theory atau teori benang merah.
Teori ini menyatakan bahwa setiap individu memiliki jodoh yang telah ditentukan sejak lahir, terhubung melalui benang merah tak kasat mata. Konsep ini tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga memicu beragam diskusi, konten kreatif, dan interpretasi di kalangan pengguna internet.
Banyak orang mulai mengaitkan kembali kisah cinta mereka dengan teori ini. Warganet membagikan berbagai pengalaman, menceritakan bagaimana mereka pernah berpapasan dengan pasangan mereka di masa lalu tanpa menyadarinya.
Pengalaman-pengalaman ini menimbulkan renungan dan pertanyaan mengenai takdir yang mungkin telah mempertemukan mereka.
Tapi, apa sebenarnya Red String Theory?
Red String Theory, yang dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai Teori Benang Merah, merupakan legenda yang berasal dari budaya Asia Timur, khususnya dari Tiongkok dan Jepang. Teori ini mengisahkan bahwa setiap orang dilahirkan dengan benang merah tak kasat mata yang menghubungkan mereka dengan orang yang ditakdirkan untuk mereka.
Konsep ini berakar pada keyakinan bahwa takdir dan cinta sejati adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Setiap individu telah ditentukan memiliki pasangan yang seharusnya mereka temui, terlepas dari bagaimana atau kapan pertemuan itu terjadi.
Red String Theory Versi Tiongkok
Dalam versi Tiongkok, legenda ini bercerita tentang Yue Lao, dewa pernikahan dan takdir, yang mengikatkan benang merah di jari kelingking dua orang yang ditakdirkan untuk bersama. Benang ini memiliki sifat khusus: dapat terulur dan melilit, tetapi tidak akan pernah putus.
Dengan demikian, meskipun pasangan tersebut mungkin terpisah jauh, berasal dari latar belakang yang berbeda, atau bahkan belum saling mengenal, benang merah akan tetap menghubungkan mereka sampai saatnya tiba untuk bertemu.
Red String Teory Versi Jepang
Sementara itu, di Jepang, konsep ini dikenal sebagai “Unmei no Akai Ito,” yang berarti “benang merah takdir.” Dalam tradisi Jepang, benang ini menghubungkan kelingking atau pergelangan tangan dua individu. Berbagai budaya di dunia telah mengadopsi teori ini sebagai simbol ikatan emosional yang kuat, yang menghubungkan takdir dengan jodoh yang istimewa.
Meskipun sering dikaitkan dengan cinta, Red String Theory juga menggambarkan berbagai hubungan mendalam lainnya yang memiliki dampak signifikan dalam hidup seseorang—seperti pertemanan, keluarga, atau ikatan antar jiwa dengan misi yang sama di dunia ini.
Saat ini, teori ini semakin populer dalam media dan budaya pop, khususnya dalam genre romansa, drama, dan anime. Cerita-cerita ini sering menampilkan karakter yang seolah-olah sudah ditakdirkan untuk bertemu atau memiliki perasaan saling terhubung meskipun tanpa alasan yang jelas.
Dengan metafora benang merahnya, Red String Theory mewakili pandangan bahwa dalam hidup, terdapat hubungan yang telah ditetapkan oleh alam semesta. Pada akhirnya, kita akan bertemu dengan orang-orang yang memberikan arti penting dalam hidup kita. [mnd/ian]