More

    Kesetaraan Gender Masih Mimpi, Bank Dunia Memberikan Pembuktian

    Bank Dunia mengungkapkan bahwa perempuan mengalami kesenjangan gender di tempat kerja yang jauh lebih besar daripada perkiraan sebelumnya. Bahkan, perempuan hanya menikmati kurang dari dua pertiga hak yang dimiliki laki-laki.

    Mengutip laporan Women, Business, and the Law 2024 yang dirilis oleh Bank Dunia, tidak ada satupun negara di dunia yang memberikan kesempatan setara bagi perempuan, terutama di lingkungan kerja. Menurut laporan tersebut, rata-rata perempuan hanya menikmati 64 persen perlindungan hukum dibandingkan laki-laki. Sebelumnya, angka tersebut diperkirakan sebesar 77 persen.

    “Meskipun Undang-undang (UU) yang ada menyiratkan bahwa perempuan menikmati sekitar dua pertiga hak laki-laki, rata-rata negara baru menetapkan kurang dari 40 persen sistem untuk implementasi sepenuhnya,” tulis laporan Women, Business, and the Law 2024, dikutip Jumat (8/3/2024).

    Menurut laporan tersebut, sebanyak 98 negara telah memberlakukan UU yang mewajibkan perusahaan memberi upah yang sama bagi perempuan untuk pekerjaan yang bernilai sama.

    Namun, hanya 35 negara yang sudah menerapkan langkah-langkah transparansi gaji atau mekanisme penegakan hukum untuk mengatasi kesenjangan gaji. Adapun, jumlah tersebut setara dengan kurang dari satu dari lima negara.

    Menurut Bank Dunia, implementasi UU kesetaraan kesempatan yang efektif bergantung pada kerangka pendukung yang memadai, seperti mekanisme penegakan hukum yang kuat, sistem untuk melacak kesenjangan upah terkait gender, dan ketersediaan layanan kesehatan bagi perempuan yang selamat dari kekerasan.

    Kepala Ekonom Grup Bank Dunia sekaligus Wakil Presiden Senior bidang Ekonomi Pembangunan, Indermit Gill mengatakan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk meningkatkan perekonomian global yang “terpuruk”. Namun, hal ini sulit terwujud karena UU dan praktik yang diskriminatif di seluruh negara menghalangi perempuan untuk bekerja atau memulai bisnis.

    “[Padahal] menutup kesenjangan ini dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) global sebesar lebih lagi 20 persen alias menggandakan laju pertumbuhan global pada dekade berikutnya,” kata Gill.

    “Namun, reformasi telah berjalan lambat,” imbuhnya.

    Menurut laporan yang sama, hampir seluruh negara di dunia menunjukkan kinerja buruk dalam dua kategori yang “pertama kali dilacak”, yakni akses terhadap penitipan anak dan keselamatan perempuan. Keselamatan perempuan adalah kelemahan terbesar bagi negara-negara di dunia.

    Skor rata-rata global terkait keselamatan perempuan dilaporkan hanya 36. Skor tersebut menandakan bahwa perempuan hanya menikmati sepertiga dari perlindungan hukum yang dibutuhkan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, pernikahan anak, dan pembunuhan terhadap peremuan.

    “Meskipun 151 negara mempunyai undang-undang yang melarang pelecehan seksual di tempat kerja, hanya 39 negara yang mempunyai undang-undang yang melarang pelecehan seksual di ruang publik,” tulis laporan Women, Business, and the Law 2024.

    “Hal ini seringkali menghalangi perempuan untuk menggunakan transportasi umum untuk berangkat kerja,” lanjut laporan tersebut.

    Selain itu, sebagian besar negara di dunia juga mendapatkan skor buruk dalam UU pengasuhan anak. Perempuan tercatat rata-rata menghabiskan 2,4 jam lebih banyak sehari untuk mengasuh anak yang tidak berbayar dibandingkan laki-laki.

    Saat ini, hanya 62 negara dari 190 negara atau kurang dari sepertiga di seluruh dunia yang memiliki standar kualitas layanan pengasuhan anak. Akibatnya, banyak perempuan yang mungkin akan “berpikir dua kali” untuk tetap bekerja ketika mempunyai anak.

    Dalam bidang kewirausahaan, hanya satu dari lima negara yang mewajibkan kriteria sensitif gender dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Dampaknya, perempuan tidak mendapatkan peluang ekonomi sebesar US$10 triliun atau sekitar Rp156.330 triliun (asumsi kurs Rp15.633/US$) per tahun.

    “Dalam hal gaji, perempuan hanya mendapat 77 sen (atau sekitar Rp24,12) untuk setiap US$1 yang dibayarkan kepada laki-laki,” tulis laporan yang sama.

    Tidak hanya terkait gaji, kesenjangan hak juga meluas hingga masa pensiun. Di 62 negara, usia pensiun laki-laki tidak setara dengan perempuan. Sebab, perempuan cenderung hidup lebih lama dibanding laki-laki, tetapi mereka mendapat “keuntungan” yang lebih kecil daripada laki-laki, yakni manfaat pensiun yang lebih minim dan ketidakamanan finansial di hari tua.

    Adapun, ketidaksetaraan antara usia pensiun dan keuntungan difaktori oleh penerimaan gaji yang lebih rendah saat bekerja, mengambil cuti saat memiliki anak, dan pensiun lebih awal.

    “Saat ini, hampir separuh perempuan berpartisipasi dalam angkatan kerja global, dibandingkan dengan hampir tiga dari setiap empat laki-laki. Ini bukan hanya tidak adil, tapi juga sia-sia,” ujar penulis utama laporan Women, Business, and the Law 2024, Tea Trumbic.

    “Meningkatkan partisipasi ekonomi perempuan adalah kunci untuk memperkuat suara mereka dan mengambil keputusan yang berdampak langsung pada mereka. Negara-negara tidak mampu menyisihkan setengah dari populasinya,” tutupnya.

    Source link