More

    Mengislamkan Penguasa Palembang: Kisah Ibrahim Asmoroqondi

    Sosok Ibrahim Asmoroqondi selalu dikaitkan dengan keberhasilan sang putra, Sunan Ampel. Sang putra dengan darah biru yang berhasil mendidik santrinya menjadi pendakwah mahsyur di Tanah Jawa.

    Datang dari Champa tak sendirian, ditemaninya dua putra beserta beberapa keluarganya. Pelayaran dengan tujuan menghadiri panggilan dari istri penguasa Kerajaan Majapahit di Trowulan. Sempat singgah di beberapa kota dan menebar kebaikan.

    Kebaikan ditebarkan oleh Syekh Ibrahim Asmoroqondi melalui ajaran Islam. Ajarannya pun tak keras dan tanpa kekerasan, melakukan pendekatan dialogis hingga diriwayatkan berhasil meng-Islamkan seorang ahli mesiu di Palembang.

    Seseorang yang di-Islamkan oleh ayahanda Sunan Ampel ini bukan dari kalangan kaleng-kaleng, sosok tersebut merupakan Adipati Palembang yang berkuasa pada pertengahan abad ke-15 Masehi. Adipati Palembang yang dimaksud yakni Arya Damar.

    Rombongan Ibrahim Asmoroqondi yang datang dari Champa bertamu kepada Arya Damar selama dua bulan lamanya. Selama itulah Ibrahim Asmoroqondi mengenalkan ajaran Islam kepada Arya Damar yang menganut keyakinan Syiwa-Buddha.

    Bahkan, keyakinan Syiwa-Buddha aliran Bhirawa-Tantra yang dipercaya oleh Arya Damar didapat dari semenjak kecil hingga diangkat menjadi Adipati Palembang. Hal yang tak mudah bagi Syekh Ibrahim, perlu sikap hati-hati dan telaten memasukkan ajaran Islam kepada Arya Damar.

    Saat mengemban tugas sebagai Adipati Palembang menjadi momen pertemuan Arya Damar dengan Ibrahim Asmoroqondi, Sunan Ampel, dan Ali Murtadho yang menepikan kapal dari Champa. Menurut informasi yang kami dapatkan, Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) anak dari Ibrahim Asmoroqondi baru menginjak sekitar umur 20 tahun saat bertemu Arya Damar.

    Selama dua bulan terus menerus dikenalkan oleh ajaran Islam, Arya Damar pun luluh dan meneguhkan hati memeluk Islam dengan bimbingan Syekh Ibrahim Asmoroqondi. Seusai menjadi mualaf sosok Arya Damar yang sempat menaklukan Bali ini mengubah namanya menjadi Ario Abdillah.

    “Singgah di Palembang, kira-kira saat itu umur Sunan Ampel sekitar 19-20 tahun (lahir 1401 Masehi) dan menemui Arya Damar. Saat itu Arya Damar belum Islam, dalam beberapa catatan Arya Damar berhasil diislamkan oleh ayah Sunan Ampel (Ibrahim Asmoroqondi),” terang Dr. H. Muhammad Khodafi, M.Si pada Jumat, 15 Maret 2024 lalu.

    Berhasil pada misi pertamanya mengajarkan Islam kepada Ario Abdillah, Syekh Ibrahim Asmoroqondi beserta kedua putranya melanjutkan perjalanan ke Tanah Jawa. Di Tanah Jawa rombongan keluarga bangsawan ini mampir di beberapa pelabuhan, seperti di Semarang dan Tuban.

    “Setelah beberapa saat di Palembang, Ibrahim As-Samarqandi yang diikuti anaknya ke Jawa dan mampir di beberapa Pelabuhan seperti di Semarang dan Tuban,” lanjut dia.

    Tuban menjadi perhentian terakhir Syekh Ibrahim Asmoroqondi, sedangkan kedua putranya terus berkelana. Ali Murtadho sang kakak terus berjalan hingga Bima untuk mengajarkan agama Islam. Sedangkan, adiknya Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) terus menelusuri Tanah Jawa untuk menemui sang bibi yang ada di Trowulan.

    Sempat sakit dan pada akhirnya wafat di Tuban menjadi alasan Sang Ayahanda tak ikut menemani perjalanan putra-putranya. Namun, sebelum wafat Syekh Ibrahim Asmoroqondi menjadi pendakwah mahsyur di Desa Gesik (kini Desa Gesikan).

    Selain sehari-harinya berdakwah, Ibrahim Asmoroqondi juga berhasil menyusun sebuah kitab bernama Usul Nem Bis, serta meninggalkan beberapa peninggalan. Masjid Tua, bedug, mimbar, sumur, dan gapura padhuraksa menjadi peninggalan Syekh Ibrahim yang hingga kini masih ada dan dirawat oleh yayasan dan masyarakat sekitar Desa Gesikan. [beq]

    Baca berita lainnya di Google News atau langsung di halaman Indeks

    Source link