Pada masa-masa itu, anak-anak muda yang telah menamatkan pendidikan di bangku SLTA, biasanya mulai meninggalkan kampung halaman. Meningggalkan sanak saudara. Meninggalkan kawan sepermainan. Meninggalkan kenangan yang telah terukir di berbagai sudut kota.
Sebagian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, menjemput cita-cita. Menjadi anak kuliahan, membangun mimpi masa depan. Bagi yang kuliah di kota tetangga, awalnya sepekan sekali pulang kampung, tapi kemudian akan semakin jarang, mungkin hanya sekali sebulan. Bagi yang kuliah di luar pulau, kesempatan pulang hanya sekali setahun, saat Lebaran.Â
Sebagian lagi, yang tidak memiliki kesempatan melanjutkan pendidikan, pergi dari kampung untuk mencari peruntungan, merantau ke negeri-negeri yang selama ini hanya dikenal lewat cerita, atau “streaming” media sosial.
Maka wajah-wajah yang familiar di kampung, banyak yang tidak lagi terlihat. Yang tersisa adalah orang tua, anak-anak yang beranjak dewasa dan mereka yang mendapatkan pekerjaan di kampung halaman.
Bagi orang Sumatera Barat, DKI Jakarta dan Batam (Kepulauan Riau) menjadi dua kota yang paling banyak dituju. Mungkin dirasa paling “aman” karena “orang awak” sudah banyak yang bermukim di kedua wilayah itu.
Konon, jumlah warga etnis Minangkabau di Jakarta mencapai 2,4 juta orang, sementara di Batam sekitar 27 persen dari total penduduknya sekitar 1,2 juta orang adalah “orang awak”.
Setidaknya jika nasib malang, tidak mampu menaklukkan kerasnya kota, masih ada sanak atau orang sekampung yang bisa dimintai tolong untuk sementara, menjelang ditemukannya inspirasi baru atau menjelang mendapat penghasilan baru.
Di Jakarta dan beberapa kota di Pulau Jawa, sebagian mereka, yang biasanya menamatkan kuliah di sana, mendapatkan pekerjaan yang layak. Pekerja kantoran, bahkan ada juga yang kerja di pemerintahan. Sebagian dari mereka, bahkan terus mendaki ke puncak kesuksesan.
Meskipun demikian, yang mencari peruntungan dengan meninggalkan kampung halaman itu, ada juga yang bekerja sebagai buruh, dan pada umunya menjadi pedagang. Awalnya mereka mencari induk semang untuk belajar, lalu buka lapak sendiri. Bila retak tangan bagus, mereka berhasil menjadi “orang”.
Di Batam, sebagian besar “orang awak” menjadi pekerja di perusahaan. Buruh dengan kontrak tahunan. Hidup sederhana dari tahun ke tahun sambil memupuk tabungan.
Upah Minimum Regional (UMR) Jakarta memang cukup tinggi jika dibandingkan UMR di Sumbar. Pada 2024, UMR Jakarta sekitar Rp5 juta lebih sedikit. Batam juga punya UMK Rp4,6 juta di atas UMR Sumbar yang baru Rp2,81 juta.
Jakarta dan Batam memiliki banyak perusahaan yang bisa membayar gaji sesuai UMR, berbeda dengan Sumbar yang perusahaan besarnya tidak banyak.
UMR menjadi salah satu daya tarik utama. Setidaknya dengan pendapatan sesuai UMR Jakarta atau Batam itu, mereka bisa menabung. Mengumpulkan pundi-pundi untuk dibawa pulang, kemudian membuka usaha sendiri.
Meskipun demikian, kehidupan tidak bisa dihitung melulu secara matematis. Tabungan yang berhasil disimpan sedikit demi sedikit, kadang memang bisa dibawa pulang kampung, tapi kadang ludes juga untuk biaya hidup saat kontrak berakhir dan pekerjaan baru belum didapat.
Bagi orang Minangkabau, merantau memang bukan semata untuk mencari penghidupan, tetapi lebih kepada mencari pengalaman, menimba ilmu untuk kemudian dibawa pulang membangun kampung halaman.
Meski pada akhirnya, banyak juga yang “merantau hilang”, atau tidak lagi kembali ke kampung karena memilih hidup dan berkeluarga di perantauan. Pulang hanya sekali setahun, saat Lebaran.
Maka tidak heran bila Pemprov Sumbar mencatat, saat ini jumlah etnis Minangkabau yang merantau dan menetap di luar Sumbar, jauh lebih banyak daripada jumlah warga Sumbar saat ini yang berjumlah 5,66 juta jiwa.
UMR Sumbar 2024
Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Barat selalu naik dari tahun ke tahun, meski tidak sebesar dengan kota-kota lain yang menjadi tujuan perantauan. Pada tahun 2024 UMR Sumbar naik menjadi Rp2,81 juta per bulan dari awalnya Rp2,74 juta pada 2023, berdasarkan SK Gubernur Nomor: 562-768-2023 tertanggal 20 November 2023.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar menyebut kenaikan UMP Sumbar pada 2024 sekitar Rp68.973 atau 2,52 persen dari UMP tahun 2023.
Secara umum ada tiga variabel yang menentukan UMP pada 2024, yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat Inflasi, dan koefisien alpha (berkisar dari 0,10 – 0,30). Besaran alpha sangat ditentukan oleh tingkat besaran upah dan tingkat besaran penyerapan tenaga kerja.
Kenaikan UMR tersebut memang menggunakan rumus baku yang mengacu kepada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan sebagai pengganti PP Nomor 36 Tahun 2021.
Gubernur Sumbar mengesahkan UMR setiap tahun setelah melewati proses sesuai aturan yang berlaku, salah satunya pembahasan dalam rapat Dewan Pengupahan setempat.
Dewan Pengupahan di Sumbar terdiri dari 15 orang yang berasal dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas Perindag, BPS, perguruan tinggi, Apindo, dan serikat pekerja.
Jika dikaji lagi, sebenarnya UMR mengacu pada standar hidup laik pada satu daerah. Meskipun UMR Jakarta atau Batam lebih tinggi dari Sumbar, tetapi biaya hidup juga lebih tinggi. Bisa disebut upah Rp5 juta di Jakarta dan pendapatan Rp2,81 juta di Sumbar, hampir sama nilainya. Sama-sama cukup untuk hidup.
Karena itu, jika ada lapangan pekerjaan yang terbuka luas di Sumbar, dengan penghasilan setara UMR, tentu bisa menjadi salah satu alternatif pilihan untuk hidup dan berkerja di kampung halaman.
Perhutanan sosialÂ
Pada akhir 2023, Kepala Dinas Kehutanan Sumbar Yozarwardi menyampaikan fakta menarik terkait program Perhutanan Sosial di daerah itu.
Pendapatan petani hutan (sebutan untuk mereka yang memanfaatkan potensi perhutanan sosial) di Sumbar sudah hampir menyamai UMR. Dalam beberapa tahun ke depan, diyakini bisa menyamai, bahkan bisa lebih tinggi.
Peningkatan pendapatan para petani hutan itu meningkat signifikan sejak 2020, terdorong oleh semakin baiknya pengelolaan program perhutanan sosial di daerah itu.
Rata-rata kenaikan pendapatan petani hutan di daerah itu mencapai 15 persen per tahun. Pada 2020 pendapatan petani hutan di Sumbar sebesar Rp1.517.160 per bulan. Angka itu naik 17,31 persen atau setara Rp262.550 pada 2021, menjadi Rp1.779.710 per bulan.
Pada 2022 pendapatan petani hutan itu kembali naik 11,16 persen dari tahun 2021 atau setara Rp198.657, menjadi Rp1.978.367 per bulan dan naik lagi 17,24 persen atau Rp341.144 pada 2023 menjadi Rp2.319.511 per bulan.
Beda pendapatan petani hutan dengan UMR Sumbar, tinggal Rp500 ribu per bulan. Dan itu, adalah angka rata-rata. Artinya sudah cukup banyak petani hutan yang memiliki penghasilan lebih besar dari UMR yang saat ini Rp2,81 juta per bulan.
Perhutanan sosial memberikan harapan untuk memberikan hidup layak bagi masyarakat Sumbar yang sebagian besar berada di sekitar kawasan hutan.
Data Dinas Kehutanan Sumbar, sebanyak 850 nagari atau desa (81,97 persen) dari 1.157 nagari yang ada di Sumbar itu berada di sekitar kawasan hutan. Artinya, sebagian besar masyarakat Sumbar bisa memanfaatkan potensi yang ada di hutan melalui program Perhutanan Sosial.
Apalagi, hingga 2023, total luas perhutanan sosial di Sumbar baru mencapai 287.553,78 hektare dengan 205 unit usaha. Jumlah itu masih bisa terus berkembang karena alokasi Perhutanan Sosial di Sumbar mencapai 500 ribu hektare, dengan target perluasan sekitar 50 hektare per tahun.
Dinas Kehutanan Sumbar memandang potensi besar itu tidak boleh disia-siakan karena jika dikelola dengan baik akan memberikan dampak luas terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sngat mungkin, dalam beberapa tahun ke depan, Program Perhutanan Sosial akan muncul menjadi pahlawan dalam pengentasan kemiskinan di Sumbar. Generasi muda yang dulunya harus meninggalkan kampung halaman untuk mengejar penghidupan, bisa tetap hidup berkecukupan dengan mengelola potensi hutan.
Â
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2024