Jakarta, CNBC Indonesia – Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) terbaru mengungkapkan bahwa jumlah perokok aktif di Indonesia telah mencapai 70 juta orang. Kelompok utama dari jumlah total tersebut adalah anak-anak dan remaja.
Menurut data terbaru dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 oleh Kemenkes RI, total jumlah perokok aktif di Indonesia mencapai 70 juta orang dengan kelompok anak dan remaja berusia 10 hingga 18 tahun menjadi perokok utama. Kelompok tersebut menunjukkan angka prevalensi yang paling signifikan, yakni sekitar 7,4 persen.
Berdasarkan hasil survei Global Adult Tobacco Survey (GATS) 2021, sebagian besar dari 63,4 perokok di Indonesia mengaku kesulitan untuk berhenti merokok meskipun memiliki keinginan untuk setop.
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Indonesia perlu memiliki terapi farmakologi, yakni Terapi Pengganti Nikotin atau Nicotine Replacement Therapy (NRT) untuk menekan aangka prevalensi konsumsi tembakau di Indonesia.
“NRT merupakan salah satu solusi alat bantu efektif untuk kesehatan yang lebih baik,” tulis PDPI melalui keterangan tertulis yang diterima CNBC Indonesia, Kamis (11/7/2024).
Sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa hingga saat ini tren penggunaan rokok di Indonesia masih tinggi. Tak hanya rokok konvensional alias tembakau, kenaikan tren juga diikuti oleh penggunaan rokok elektrik.
“Naik. Di Indonesia itu saya lihat naik,” ucap Budi setelah Acara Puncak Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2024 di Kantor Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI), Jakarta, dikutip Kamis (11/7/2024)
Menurut data SKI 2023, anak dan remaja berusia 10 hingga 18 tahun menjadi kelompok dengan peningkatan jumlah perokok tertinggi, yakni 7,4 persen. Secara rinci, kelompok usia 15 hingga 19 tahun adalah kelompok perokok terbanyak, yakni 56,5 persen yang diikuti usia 10 hingga 14 tahun, yaitu 18,4 persen
Sementara itu, pengguna rokok elektrik dalam kelompok remaja juga mengalami peningkatan dalam empat tahun terakhir. Menurut data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2021, prevalensi rokok elektrik menjadi tiga persen.
Menkes yang kerap disapa BGS itu mengatakan, pengguna rokok di Indonesia menyumbang kerugian negara sebesar triliunan rupiah lebih. Bahkan, kerugian tersebut diklaim jauh lebih besar daripada pendapatan yang diterima negara.
“Beban kesehatan yang dikeluarkan karena penyakit paru kronis itu jauh lebih besar dari pendapatan Bea Cukai,” tegas Budi.
Secara rinci, Menkes mengungkapkan bahwa Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) yang salah satunya disebabkan oleh polusi dari asap rokok menghabiskan anggaran kesehatan lebih dari Rp10 triliun. Menurutnya, jumlah tersebut bahkan baru yang bersumber dari catatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).
“PPOK waktu polusi kemarin, itu mungkin di atas Rp10 triliun. Rp10 triliun lebih, ya. Itu yang tercatat Di BPJS, ya, belum yang di luar BPJS-nya,” ungkapnya.
Next Article
Menkes Ungkap Indonesia Boncos Rp10 Triliun Gegara Rokok
(rns/rns)