More

    Merasakan Bali Kecil di Sisi Selatan Sumatera

    Jakarta (beritajatim.com) – Penjor, aroma dupa, gamelan Bali, hingga pura-pura yang tersebar di penjuru desa seperti membawa pengunjung ke Pulau Dewata, Bali. Sesungguhnya, suasanya ini berada di Desa Air Talas, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.

    Sore menjelang Nyepi, masyarakat sudah berbusana bagus. Perempuan mengenakan kebaya aneka warna, para lelaki mengenakan sarung dan ikat kepala khas Bali. Gamelan bertalu. Tempat upacara disiapkan. Penjor dan aneka jenis lipatan janur mewarnai setiap sudut desa. Meriah sekali.

    Komang Meliasih dan Ni Luh Sri sudah siap sedari siang untuk mengukuti upacara. Dia adalah ketua dan sekretaris UMKM Sirup binaan PT. Pertamina Hulu Rokan Zona 4 Limau Field. Usahanya berupa sirup jeruk. Usaha yang ditekuni sejak 2 tahun terakhir. Meski belum kontinyu, sirupnya sudah memasok beberapa gerai oleh-oleh di Prabumulih (Muara Enim).

    Namun hari itu, seminggu lebih, mereka tidak sedang berproduksi karena upacara. Sama seperti di Bali, di Air Talas pun, semua kegiatan berhenti menjelang upacara Nyepi. Semua masyarakat fokus ke sana.

    Air Talas adalah desa yang dibangun oleh para transmigran Bali pada tahun 1987. Kebanyakan mereka ikut program transmigrasi bedhol desa. Ketika di Air Talas, mereka pun bergaul dengan tetangga-tetangganya yang orang bali juga. Bahasa, makanan, budaya, termasuk busana, semua masih Bali.
    Hingga tiba pawai ogoh-ogoh yang ditunggu. Arak-arakan laki-laki yang memanggul 5 ogoh-ogoh sebagai perwujudan keburukan dalam diri manusia yang akan dimusnahkan hari itu. Ada yang berbentuk raksasa, ada yang berbentuk wanara, iblis, dan semua wajah angkara diarak menuju pusat upacara. Alunan gamelan bertalu, para laki-laki muda mengerahkan otot-ototnya untuk mengarak para raksasa.

    Di tengah hiruk pikuk, Wayan, Ketua Megamel Bali, menunjukkan HP-nya yang sedang menayangkan live upacara yang sama di Bali. “Ini saudara-saudara kami di Bali juga sedang berlangsung pawai ogoh-ogoh. Kami melaksanakan sama di sini,” katanya.

    Sampai di pusat upacara, kekhusyukan upacara itu berlangsung. Gamelan berhenti, senyap. Doa-doa dilantunkan. Para peserta upacara menangkupkan tangan, mengikuti doa-doa para pendanda hingga akhir. Hingga para peserta mendapatkan bija (beras yang ditempel di dahi) dan air suci sebagai lambang penjernihan pikiran.

    Tak lama kemudian, riuh suara gamelan kembali bertalu. Ogoh-ogoh diarak ke gerbang desa untuk dibakar. Menjelang malam, upacara selesai ditandai dengan api yang menyala, menghanguskan segala angkara yang bersemayam dalam diri hingga esok pagi, Nyepi. Ketika desa, raga, dan jiwa hening selama 24 jam. Tanpa aktivitas. Tanpa sinyal HP, untuk mengingat pada Sang Pencipta.

    “Kalau ngaben, kami tidak melakukan di sini. Kalau ada yang meninggal, dikubur biasa,” kata Ni Luh.

    Ngaben/pelebon menjadi daya tarik khusus bagi wisatawan yang ingin ke Bali. Di Air Talas, tradisi ini tidak dilakukan. Selain ngaben, tradisi lain dan kebiasaan sehari-hari masih tetap sebagaimana masyarakat Bali meski rata-rata, sudah kelahiran Air Talas.

    Menurut Ni Luh, kebiasaan ini sudah dilakukan secara turun temurun. Pun ia dididik dengan cara Bali meski sejak usia 8 tahun sudah meninggalkan Bali. Mulai membuat canang setiap hari, berdoa dengan dupa setiap pagi dan sore. Juga upacara-upacara besar di pura juga dilaksanakan.

    “Kalau kurang satu saja, kelupaan misalnya, rasanya merasa bersalah. Tidak tenang. Tidak merasa lengkap hari itu,” aku Ni Luh.

    Public Relation Officer Gerry Diansyah mengatakan, setiap tahun, PT. Pertamina Hulu Rokan Zona 4 Limau Field diundang untuk mengikuti upacara ini.

    “Upacara ogoh-ogoh ini berlangsung setiap tahun dan selalu meriah. Kita seperti berada di Bali,” kata Gerry.

    Bila dilihat dari masyarakat dan budaya, Air Talas bisa menjadi tujuan wisata bagi yang ingin melihat Bali tapi tidak perlu ke Bali. Potensi ini cukup besar mengingat di kawasan ini belum ada wisata sejenis. Sudah ada wisatawan dari desa sebelah yang berkunjung khusus untuk pawai ini. Tak memandang agama, mereka menikmati. Kebudayaan Bali bukan hanya milik penganut kepercayaan tertentu, tapi keindahannya milik semua.

    “Mungkin ke depan, kami coba mendiskusikan untuk membuat kalender wisata dan keigiatan lain. Tapi tentu saja, kami akan berdiskusi dulu dengan para tokoh masyarakat di sini,” ujar Gerry. [hen/ian]

    Source link