Surabaya (beritajatim.com) – Serpihan sejarah sisa perjuangan tentara veteran Indonesia dalam merebut kemerdekaan di Surabaya, masih berdiri kokoh di Jalan Rajawali, Korps Cacat Veteran hingga saat ini.
Korps Cacat yang kini ditinggali keluarga tentara veteran itu terdapat sebuah bunker yang dibangun Pemerintah Kolonial Belanda. Dulunya, bunker tersebut dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata dan persembunyian tentara Belanda ketika masa perang di Surabaya.
Bunker berbentuk tempurung itu memiliki dinding yang tebal hampir 1 meter. Bunker kokoh tertanam ke dalam tanah. Kondisinya terawat dan saat ini ditinggali oleh salah satu anak veteran RI.
Endang Supatmiati, anak veteran RI yang tinggal di dalam Bunker Belanda itu mengatakan bahwa, Bunker itu direbut oleh ayahnya yang dulu seorang angkatan darat, ketika melawan pasukan tentara Belanda.
Ayah dari Endang adalah Kapten Moestain, yang memimpin penyerangan tentara Belanda di Jalan Rajawali Surabaya, saat menjelang kemerdekaan 1945.
“Asal mula asrama ini dulunya ditempati Belanda. Lalu bapak berjuang merebut Bunker persembunyian belanda pada tahun 1945, jelang proklamasi kemerdekaan RI,” ujar Endang ditemui beritajatim.com di rumahnya, Kamis (15/8/2024) siang.
Endang menceritakan, setelah tentara Belanda ini kalah dan Bunker berhasil direbut, tentara veteran Indonesia, termasuk ayahnya menduduki komplek Bunker tersebut untuk dijadikan markas.
Kemudian bertahan turun temurun hingga tahun 2024, serta kini ditempati anak keturunan tentara veteran.
“Yang tinggal di sini ada 10 kepala keluarga (KK), semua adalah ahli waris tentara veteran di masa lampau,” jelasnya.
Menurut Endang, di komplek Cacat Veteran RI ini ada 2 bilik Bunker Belanda. Di mana 1 Bunker dia tinggali, dan 1 bunker lain ditanggali saudaranya.
“Alasan memilih tetap bertahan tinggal di Bunker ini karena lokasinya dekat dengan pusat kota dan tempat kerja,” ujar Endang.
Meskipun, lanjut Endang, keluarganya telah diberi tempat tinggal dinas yang layak oleh pemerintah. Namun, dirinya lebih nyaman tinggal dan tidur, di Bunker tersebut.
“Nyaman saja, adem dan suasananya sejuk kalau di dalam,” imbuh dia.
Endang juga menjelaskan, saat perang melawan tentara belanda ayahnya terkena tembakan pada pelipis matanya. Kata dia, itu menjadi awal mula pertemuan ayah dengan ibunya yang saat itu jadi dokter.
“Bapak terkena tembak di pelipis mata, kemudian bapak ketemu ibu saat dirawat di rumah sakit (RS) Sukun, Malang. Dari pertemuan itu keduanya menikah, lalu ibu dan bapak tinggal di Bunker ini,” tutupnya. [ram/beq]