Surabaya (beritajatim.com) – Tren doom spending tampaknya mulai populer di kalangan anak muda. Fenomena ini menggambarkan perilaku konsumtif seseorang yang cenderung berbelanja secara impulsif sebagai pelarian dari rasa cemas atau stres.
Tren doom spending ini semakin marak, terutama setelah pandemi COVID-19, ketika banyak orang menghadapi ketidakpastian masa depan dan merasa perlu mencari “kenikmatan sesaat” melalui belanja. Meskipun terlihat seperti hiburan, doom spending sebenarnya bisa membawa dampak finansial yang merugikan.
Pengertian Doom Spending
Secara sederhana, doom spending adalah perilaku berbelanja secara berlebihan dan sering kali tidak terencana, dipicu oleh rasa cemas atau kekhawatiran akan masa depan. Istilah ini berasal dari kata doom yang berarti malapetaka atau ancaman, dan spending yang artinya pengeluaran.
Jadi, doom spending mencerminkan pola belanja yang dilakukan sebagai upaya mengatasi rasa cemas terhadap situasi yang dirasakan suram.
Kondisi ini umumnya dialami oleh anak muda yang merasakan tekanan ekonomi, sosial, atau psikologis, sehingga memilih berbelanja sebagai bentuk pelarian untuk mendapatkan kepuasan sementara.
Doom spending sering kali dilakukan tanpa perencanaan matang, menyebabkan pemborosan dan ketidakseimbangan dalam pengelolaan keuangan pribadi.
Awal Mula Terjadinya Doom Spending
Fenomena doom spending mulai marak terjadi sejak pandemi COVID-19, ketika banyak orang dihadapkan pada ketidakpastian ekonomi, isolasi sosial, dan meningkatnya kecemasan akan masa depan. Banyak anak muda merasa kehilangan kendali atas situasi dan mencari pelarian melalui kegiatan belanja online.
Platform e-commerce yang semakin mudah diakses, ditambah dengan promosi dan diskon besar-besaran, semakin mendorong mereka untuk melakukan pembelian yang tidak diperlukan.
Selain itu, media sosial juga berperan dalam memicu perilaku doom spending. Influencer sering kali memamerkan gaya hidup mewah atau barang-barang baru, yang mendorong banyak anak muda merasa perlu ikut serta untuk tampil up-to-date.
Dampak Doom Spending
Doom spending dapat membawa dampak negatif, terutama pada kondisi keuangan. Anak muda yang terjebak dalam tren ini sering kali berakhir dengan pengeluaran berlebihan, utang kartu kredit, dan tabungan yang menipis.
Hal ini menyebabkan masalah keuangan jangka panjang, seperti kesulitan memenuhi kebutuhan dasar atau mengelola utang yang semakin bertambah.
Secara psikologis, doom spending juga bisa memperburuk kesehatan mental. Alih-alih mengatasi akar masalah kecemasan atau stres, belanja impulsif hanya memberikan kepuasan sementara. Setelah efek “euforia” berbelanja memudar, perasaan cemas sering kali kembali, disertai rasa bersalah atau penyesalan atas pemborosan yang telah dilakukan.
Meskipun memberikan kepuasan sementara, perilaku ini memiliki dampak negatif yang signifikan, baik dari segi keuangan maupun kesehatan mental. Oleh karena itu, penting bagi anak muda untuk lebih bijak dalam mengelola keuangan dan menemukan cara yang lebih sehat dalam mengatasi stres. (fyi/ian)