Makna Filosofis Ketupat dan Lepet: Sajian Lebaran dengan Nilai Spiritual

Ketupat atau kupat menjadi sajian khas yang tak terpisahkan dari perayaan Idulfitri di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Jawa Timur. Di Jawa Timur, masyarakat sering menyajikan ketupat pada hari kedelapan bulan Syawal, tradisi yang dikenal sebagai Lebaran Ketupat atau Kupatan. Legenda menyebutkan bahwa Sunan Kalijaga menciptakan ketupat sebagai simbol filosofi kehidupan yang sarat nilai spiritual, dengan kata “kupat” berasal dari istilah Jawa “ngaku lepat” yang artinya “mengakui kesalahan”.

Tradisi ngaku lepat ini mengajarkan pentingnya meminta maaf dengan rendah hati, atau disebut secara lokal dengan sungkeman. Selain sebagai simbol pengakuan kesalahan, ketupat juga mengandung makna dalam menyambut Idulfitri, seperti lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Selain ketupat, sajian lepet yang terbuat dari ketan dan kelapa juga memiliki makna filosofi sendiri, dengan kata “lepet” merupakan singkatan dari “silep kang rapet” yang menggambarkan hubungan antarmanusia yang erat dan tidak menyimpan dendam.

Janur yang digunakan untuk membungkus ketupat dan lepet juga memiliki makna spiritual, terkait dengan cahaya. Ketupat yang berbentuk segi empat melambangkan hati manusia yang menjadi lebih bersih setelah mengakui dosa. Ketupat dan lepet bukan hanya makanan khas Lebaran, tetapi juga sarana untuk menyampaikan pesan-pesan moral dan spiritual yang mendalam kepada masyarakat, seperti makna pengampunan, kesucian hati, dan pentingnya menjaga hubungan antarsesama.

Source link