Setiap kendaraan bermotor di Indonesia diwajibkan memiliki tanda pengenal berupa pelat nomor atau Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB). Pelat ini bukan hanya sekadar aksesori, melainkan identitas resmi yang dikeluarkan oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk mendaftarkan kendaraan bermotor yang beredar di Indonesia.
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) tersebut berfungsi sebagai identitas resmi bagi setiap kendaraan yang terdaftar di Indonesia. Di balik kombinasi angka dan huruf yang tertera, terdapat kode-kode tertentu yang dapat memberikan informasi mengenai jenis dan daerah asal kendaraan tersebut. Huruf pertama di sebelah kiri pelat nomor menandakan kode wilayah, sementara deretan angka dan huruf di bagian tengah serta kanan merupakan Nomor Registrasi Kendaraan Bermotor (NRKB).
Sejarah pelat nomor di Indonesia mengalami banyak perubahan sejak pertama kali diperkenalkan, mulai dari warna, bentuk, hingga sistem penomorannya. Evolusi yang terjadi seiring perkembangan zaman dan kebutuhan administrasi kendaraan ini menimbulkan pertanyaan mengenai sejarahnya. Pada tahun 1811, Inggris merebut berbagai wilayah di Nusantara dari tangan Belanda. Untuk mempermudah identifikasi kendaraan, tentara Inggris mulai menggunakan sistem penamaan berbasis huruf di beberapa daerah.
Misalnya, Batavia (kini Jakarta) diberi kode ‘B’ karena berhasil dikuasai oleh batalyon B. Sementara itu, Batalyon A menduduki wilayah Banten, sehingga kendaraan di daerah tersebut diberi kode ‘A’. Hal serupa terjadi di Surabaya yang diambil alih oleh batalyon L, serta Madura yang berada di bawah kendali batalyon M. Beberapa wilayah hanya menggunakan satu huruf sebagai kode, namun terdapat pengecualian bagi Yogyakarta dan Solo.
Pada tahun 1893, Prancis memperkenalkan penggunaan pelat nomor sebagai alat identifikasi kendaraan, yang kemudian diadopsi oleh Belanda pada tahun 1901 sebagai aturan nasional pertama. Sistem ini menyebar ke berbagai negara Eropa sebelum diadopsi oleh Amerika Serikat pada tahun 1903. Di Indonesia, kode huruf pada pelat nomor kendaraan memiliki hubungan dengan sejarah kolonial.
Ketika Inggris menaklukkan Batavia, mereka menggunakan pasukan dari Batalyon B, sehingga kode “B” digunakan untuk wilayah tersebut. Setelah Belanda kembali menguasai Hindia Belanda pada tahun 1816, sistem ini diterapkan lebih luas hingga mencakup berbagai daerah di luar Jawa, yang berlanjut hingga saat ini. Perubahan dan penyempurnaan sistem penomoran kendaraan di Indonesia terus dilakukan, termasuk penambahan kode wilayah baru dan penerapan sistem registrasi kendaraan berbasis digital untuk efisiensi administrasi dan pengawasan yang lebih baik.