Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) era Orde Baru, Sutami, dikenal sebagai “Menteri Termiskin” Indonesia. Meskipun menjabat selama 14 tahun dan memiliki kendali atas proyek-proyek besar, Sutami tetap menolak fasilitas berlebih dari negara. Keputusannya didasari oleh pandangan bahwa tidaklah pantas seorang pejabat hidup mewah ketika banyak rakyat hidup dalam kesulitan.
Salah satu kebiasaan Sutami adalah berjalan kaki saat mengunjungi suatu wilayah, terutama wilayah perdesaan. Ia memilih berjalan kaki untuk menghindari merepotkan orang, efisiensi, dan memudahkan saat meninjau proyek infrastruktur. Sutami juga berpegang pada prinsip bahwa pembangunan infrastruktur di pedesaan lebih bermanfaat bagi rakyat kecil daripada untuk kepentingan industri dan pengusaha.
Meskipun terkenal profesional dan intelektual di bidangnya, Sutami hidup dengan sederhana dan merakyat. Bahkan setelah berhenti menjadi menteri, ia tetap menjauhi kemewahan. Rumahnya dibeli dengan cicilan per bulan setelah berhenti menjabat. Sutami bahkan tidak pernah mengambil uang negara dan tak memiliki rumah pribadi hingga setelah pensiun.
Meski diketahui sebagai “Menteri Termiskin”, Sutami tidak keberatan dengan julukan tersebut. Namun, hidupnya jauh dari kemewahan, sehingga rumahnya sempat diputus listrik karena tidak bisa membayar tagihan. Ketika sakit karena penyakit liver kronis, ia enggan ke rumah sakit karena khawatir tidak dapat membayar perawatan.
Presiden Soeharto akhirnya meminta Sutami berobat tanpa perlu membayar, namun perjuangan Sutami melawan penyakitnya akhirnya berakhir dengan kematiannya pada 13 November 1980. Meskipun sudah tiada, karya-karya Sutami seperti tol Jagorawi, Jembatan Semanggi, dan Jembatan Ampera tetap memberikan manfaat bagi masyarakat hingga saat ini.