More

    5 Kalimat yang Dilarang untuk Dikatakan kepada Anak Menurut Ahli Harvard

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kesehatan mental anak-anak dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kalimat yang diucapkan oleh orang tua. Menurut peneliti, anak-anak dapat meragukan kasih sayang orang tua melalui kalimat yang sering diucapkan kepada mereka.

    Melansir dari CNBC Make It, peneliti parenting lulusan Harvard sekaligus ibu dari tiga anak, Jennifer Wallace mengungkapkan bahwa anak-anak sering meragukan kasih sayang orang tuanya karena cenderung mendengar kalimat tentang kesuksesan yang tidak nyata dan kurang halus.

    Menurut Wallace, salah satu contoh yang membuat kesehatan mental anak terganggu dan keraguan tentang kasih sayang semakin tinggi adalah orang tua yang cenderung mengucapkan kalimat yang terkesan mementingkan hasil daripada usaha.

    “Penekanan ini dapat dirasakan oleh anak-anak kita sebagai “kritik orang tua” dan hal ini terkait dengan dampak kesehatan mental yang buruk pada anak-anak,” kata Wallace, dikutip Senin (25/3/2024).

    Menurut Wallace, ada lima kalimat yang tidak boleh diucapkan oleh orang tua kepada anak. Apa saja? Berikut rangkumannya.

    1. “Tugasmu adalah belajar”
    Menurut Wallace, anak-anak sering kali hanya berfokus membangun prestasi agar bisa menjadi sosok yang berhasil di masa depan. Padahal, itu bukanlah kunci kesuksesan. Wallace menyebut, anak harus mengetahui bagaimana cara berkontribusi di komunitas dan lingkungannya. Maka dari itu, orang tua harus membantu anak untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki keterampilan yang dapat digunakan demi memberi kontribusi kepada masyarakat luas.

    2. “Bagaimana sekolah/kuliahmu?”
    Wallace menghindari selalu menanyakan urusan sekolah anak ke dalam percakapan sehari-hari. Namun, ia tetap membuat “jadwal” untuk membahas hal tersebut. “Seorang psikolog yang saya wawancarai untuk buku Never Enough mengatakan bahwa ia membatasi percakapan tentang kuliah pada hari Minggu dari pukul 3 sampai 4 sore selama setahun pertama kuliah anaknya,” ungkap Wallace. “Sekarang anak saya sedang menjalani penerimaan perguruan tinggi dan kami mengadopsi cara tersebut. Ini mengurangi situasi tegang di rumah kami, menikmati sisa minggu, dan fokus pada hal penting lain dalam hidupnya,” lanjutnya.

    3. “Bagaimana nilai tugas-tugasmu?”
    Alih-alih menanyakan nilai tugas sekolah atau kuliah, Wallace mengaku bahwa ia selalu menanyakan hal-hal ringan kepada anaknya, seperti menu makan siang di sekolah hari ini. Menurut Wallace, hal ini lebih penting untuk ditanyakan karena orang tua jadi dapat mengetahui bagaimana dinamika sosial, persahabatan, kesehatan, dan kesejahteraan anak. “Saya tidak pernah ingin anak-anak saya berpikir bahwa prestasi akademis mereka adalah hal terpenting bagi saya atau nilai menentukan hidup mereka,” kata Wallace. “Jadi ketika anak-anak saya pulang sekolah, saya memulai percakapan dengan pertanyaan yang lebih umum dan tidak berbahaya, seperti “Kamu makan siang apa hari ini?”,” lanjutnya.

    4. “Ayah/Ibu mau melihat kamu sempurna dalam segala hal”
    Jangan jadi orang tua yang menuntut kesempurnaan dari anak. “Di rumah, kami selalu membicarakan tentang apa artinya menjadi “siswa yang baik” dan bukan menjadi siswa yang sempurna,” ujar Wallace. “Hal itulah (mencari kesempurnaan) yang dapat menyebabkan kelelahan dan memicu perfeksionisme. Sebaliknya, anak harus belajar menjadi strategi dalam menentukan di mana dia harus menghabiskan energinya,” lanjutnya.

    5. “Ayah/Ibu cuman mau kamu bahagia”
    Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya tumbuh bahagia. Namun, terkadang sentimen tersebut sering disalahartikan dan mendorong orang untuk egois sehingga hanya mementingkan untuk menjadi nomor satu. Saat mendidik anak, Wallace selalu mengajarkan bagaimana cara menjalani kehidupan yang bermakna dan memiliki tujuan, yakni dengan membuat orang merasa dihargai, memberi bantuan kepada lingkungan sekitar, dan menjadi lebih baik bagi orang lain. “Pada akhirnya, saya menyadari bahwa tugas saya adalah membantu anak-anak memimpin dengan kekuatan mereka, memahami apa yang mereka kuasai, apa yang penting bagi mereka, dan bagaimana mereka dapat memberikan dampak nyata,” kata Wallace.

    Artikel Selanjutnya
    Belajar dari Orang Belanda, Ini 6 Cara Didik Anak agar Bahagia

    (rns/rns)

    Source link